KOMPAS.com — Kabar mengejutkan datang dari Kepala Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho. Pria yang kerap dipanggil Sutopo ini didiagnosis mengidap penyakit kanker paru stadium IV.
Seperti yang dialami Sutopo, kanker paru pada umumnya memang baru terdeteksi pada stadium lanjut. Ini yang menjadi alasan mengapa penderita kanker paru biasanya hanya sedikit yang bisa disembuhkan.
Dilansir dari Kompas.id, hanya 15 persen penderita kanker paru yang mampu bertahan hidup hingga lima tahun sejak terdeteksi.
Kemudian yang menjadi pertanyaan, benarkah kanker paru sangat sulit dideteksi dini?
Baca juga: Kanker Paru, Mengapa Sulit Terdeteksi?
Dalam acara Eropean Society for Medical Oncology (ESMO) Asia 2017 di Suntec Convention Center, Singapura pada November 2017 lalu, Dr Sita Andarini, PhD, SpP(K) menuturkan, lebih dari 90 persen pasien yang datang ke rumah sakit telah masuk pada stadium empat.
Belum Ada Skrining
Menurutnya, hal itu disebabkan oleh sulitnya mendeteksi kanker paru-paru dibandingkan dengan kanker lainnya.
“Tapi, kanker paru-paru agak sulit (dideteksi). Foto thorax pun tidak bisa mendeteksi secara dini, kecuali kalau sudah stadium 4,” kata Sita.
Selain itu, paru-paru juga tidak memiliki saraf yang dapat menyebabkan pasien merasakan sakit. Rasa sakit hanya timbul bila kanker telah menyebar ke lapisan pleura, lapisan tipis yang menutupi paru-paru. Dalam kondisi ini, pasien telah masuk ke dalam stadium 4a.
Pendapat senada juga diungkapkan oleh Elisna Syahruddin dari Departemen Pulmonologi dan Ilmu Respiratori Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
“Skrining untuk menemukan lesi prakanker paru-paru belum ada di dunia. Beda dengan kanker serviks yang sudah ada,” ujar Elisna dalam acara Media Health Forum yang bertajuk "Meningkatkan Kepedulian Masyarakat dan Akses Terapi Kanker Paru di Indonesia" di Jakarta pada Selasa (6/2/2018).
Baca juga: Skrining Kanker Paru-paru Belum Ada, Ini yang Bisa Anda Lakukan
Kesalahan Diagnosis
Selain belum adanya skrining, sering kali jenis kanker ini tak terdeteksi karena salah diagnosis. Dalam penelitian yang dilakukan oleh peneliti dari Rumah Sakit Moewardi, Surakarta, Jawa Tengah, menyebut bahwa hampir 28,7 persen pasien kanker paru mengalami kesalahan diagnosis dengan TB-Pulmonari.
Menurut Elisna, pasien turut berperan atas kekeliruan tersebut. Dokter paru yang bertugas di Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta, ini memakai istilah delay diagnosis untuk menyebut fenomena salah diagnosis.
Ada dua hal yang membuat delay diagnosis terjadi. Pertama, dari pasien itu sendiri yang terlambat memeriksakan penyakitnya.
“Ini namanya patient delay,” ujar Elisna. Kondisi ini umum dikenal sebagai patient delay diagnosis.
Jika kondisi tersebut sudah terjadi, Elisna menyarankan pasien tersebut sebaiknya melanjutkan terlebih dahulu pengobatan anti-TB selama enam bulan. Kemudian, pengecekan ulang tentang penyakitnya bisa dilakukan.
Faktor kedua yang membuat salah diagnosis adalah doctor delay diagnosis. Dokter keliru saat membedakan antara kanker paru dan TB-pulmonori. Saat itu, bisa jadi pasien tersebut sebenarnya memang mengidap dua penyakit tersebut.
Elisna menegaskan, untuk mengurangi kejadian salah diagnosis tersebut, hanya dokter onkologi yang sebetulnya berhak untuk mengidentifikasi dua penyakit saluran pernapasan ini pada pasien.
Baca juga: Kesalahan Diagnosis Kanker Paru Sering Terjadi, Anda Turut Berperan
Mengembangkan Deteksi Dini
Kesulitan mendeteksi sel kanker tersebut mendorong Achmad Hudoyo, mahasiswa Program Doktor Ilmu Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), untuk mengembangkan metode seteksi kanker paru.
Hudoyo memodifikasi beberapa penelitian yang dilakukan oleh peneliti dunia. Dia menggunakan embusan napas untuk mendeteksi gen yang mengalami metilasi DNA.
Senyawa tersebut hanya terdapat pada penderita kanker paru.
Metilasi adalah salah satu mekanisme epigenetik atau perubahan ekspresi gen tanpa mengubah rangkaian DNA-nya. Ini berberda dengan mutasi, karena pada mutasi bahan genetik DNA telah berubah.
"Perubahan epigenetik biasanya terjadi di awal proses penyakit," kata Hudoyo dikutip dari harian Kompas, Senin (15/01/2018).
Embusan tersebut ditampung dalam balon karet yang menggantikan tabung khusus pada penelitian sebelumnya. Penggantian ini disebabkan harga tabung yang terbilang cukup mahal.
Selanjutnya, dilakukan proses uji di laboratorium biomolekuler.
Dengan konsep tersebut, Hudoyo merancang sebuah alat yang bisa digunakan untuk meniup balon sekaligus menyalurkan uap panasnya ke kertas saring khusus. Kertas saring ini nantinya menahan dan menyimpan informasi genetik.
"Informasi DNA di kertas saring itu bisa bertahan lama, hingga tahunan," kata Hudoyo.
Baca juga: Akankah Semua Perokok Terkena Kanker Paru? Dokter Menjawab
Kertas saring inilah yang kemudian dikirim ke laboratorium untuk diuji. Uniknya, pengirimannya bisa melalui jasa pos.
"Cara ini membuat proses deteksi dini kanker paru bisa dilakukan siapa pun, termapsuk mereka yang tinggal di pulau kecil," katanya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.