Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Akankah Semua Perokok Terkena Kanker Paru? Dokter Menjawab

Kompas.com - 25/11/2017, 17:45 WIB
Lutfy Mairizal Putra

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com -– Kanker paru merupakan penyakit kanker yang paling banyak terjadi. Tak hanya di Indonesia, kondisi tersebut juga berlaku di dunia.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat, pada tahun 2015 terdapat hampir 1,7 juta orang yang didiagnosis mengidap kanker paru.

Studi Globocan pada tahun 2012 juga mencatat bahwa kanker paru menjadi penyebab utama kematian akibat kanker pada pria. Kemudian, penyakit yang sama menjadi penyebab kematian paling umum kedua akibat kanker pada wanita.

“Kalau ada 10 orang yang didiagnosis mengidap kanker paru, delapan orang meninggal pada tahun itu juga. Itulah kenapa kanker paru disebut kanker yang mematikan. Karena umumnya di seluruh dunia, kanker paru ketemunya sudah stadium lanjut jadi tidak bisa dilaksanakan terapi secara maksimal,” kata dr Elisna Syahruddin SpP(K) PhD di Jakarta Pusat, Jumat (24/11/2017).

Baca juga : Kanker Paru, Mengapa Sulit Terdeteksi?

Elisna mengatakan, terdapat beberapa faktor risiko penyebab kanker paru. Seseorang yang berumur lebih dari 40 tahun punya risiko yang lebih tinggi. Lalu, diperkirakan juga 40 orang per 100.000 penduduk berisiko terkena penyakit ini.

Namun, usia pengidap kanker paru semakin muda. Bahkan, kini sering ditemukan pengidap yang masih berusia 30-an tahun.

Menurut Elisna, selalu ada potensi tumbuhnya sel kanker paru di dalam tubuh manusia. Namun, hal itu bisa disembuhkan oleh tubuh dengan sendirinya.

Setiap waktu, manusia menarik dan mengeluarkan nafas. Dalam momen tertentu terdapat mukosa atau selaput lendir di saluran pernafasan dari hidung hingga ke bronkus yang rusak. Kalau jumlahnya sedikit, tubuh masih bisa memperbaikinya.

“Kalau ada yang slip, dia menjadi tidak normal, yaitu bibit-bibit kanker. Tapi tidak segampang itu menjadi kanker. Ada mekanisme tubuh sendiri untuk menghilangkan yang tidak normal tadi. Maka tidak semua orang terkena kanker,” kata Elisna.

Baca juga : Mengenal Macam-macam Pengobatan untuk Kanker Paru

Meski demikian, potensi tumbuhnya kanker paru meningkat bagi para perokok. Merokok bahkan menyumbangkan 80 persen risiko, dan pada perempuan pengidap kanker paru, 55 persen di antaranya merupakan perokok aktif.

Menurut Elisna, setiap hari perokok mengiritasi dengan intensitas tinggi yang menyebabkan perubahan jaringan dan sel di saluran pernafasan. Hal ini memicu terjadinya sel kanker paru.

Elisna menyebutkan, perokok salah mengartikan rendahnya kandungan nikotin (pada rokok).

Ketika melihat label tersebut, perokok cenderung merasa lebih aman dari penyakit dan mengonsumsi lebih banyak rokok. Nyatanya, nikotin hanya salah satu zat karsinogen yang memicu terjadinya kanker paru.

Baca juga : Mengapa Tak Semua Perokok Sakit Kanker Paru?

“Nikotin itu lebih dominan kepada adiksi atau kecanduannya. Semakin lemah kadar yang diberikan, orang yang ketagihan jadi cenderung merokok lebih banyak. Akibatnya iritasinya lebih banyak, dan risikonya lebih tinggi,” kata Elisna.

Jika Anda memutuskan berhenti merokok setelah membaca berita ini, itu akan lebih baik. Namun, tidak ada jaminan Anda akan bebas dari kanker paru. Menurut Elisna, butuh waktu 15 tahun setelah berhenti merokok agar kondisi paru sama dengan orang yang tidak merokok.

“Bukan baru semingguan berhenti merokok risikonya turun. Selama 15 tahun enggak terjadi kanker, selamatlah. (Dia bisa) dianggap sama dengan orang yang tidak pernah merokok,” kata Elisna.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com