KOMPAS.com —Rabu malam, 31 Januari 2018, kita akan dapat menyaksikan trifecta surgawi, gabungan tiga fenomena bulan dalam satu waktu yang sama.
Mereka adalah super moon yang menandakan bulan berada di posisi sangat dekat dengan bumi, blue moon atau bulan biru yang menandakan ini adalah bulan purnama kedua dalam satu bulan, dan blood moon yang menandakan bulan memancarkan warna merah darah.
Namun, para ahli astronomi rupanya tidak ingin Anda menggunakan istilah super moon, blood moon, dan blue moon lagi. Mereka memiliki penjelasannya dan menganjurkan istilah yang lebih tepat.
Baca juga: Seberapa Langka Super Blood Blue Moon yang Akan Sapa Indonesia?
Namun, sebelum kita membahas hal itu, perlu dicatat bahwa ada beberapa hal mendasar dalam istilah astronomi. Seperti istilah gerhana bulan total untuk menjelaskan fenomena saat bulan melewati bayangan bumi. Dalam fenomena ini, bumi sebetulnya tidak menutupi bulan dengan satu bayangan.
"Alasan mengapa ada dua bagian bayangan bumi, umbra dan penumbra, adalah karena matahari bukanlah satu titik kecil, tetapi sesuatu yang sangat besar," kata Noah Petro, seorang periset di Pusat Penerbangan Luar Angkasa Goddard milik NASA, dilansir dari Wired, Senin (29/1/2018).
Dia melanjutkan, penumbra merupakan istilah bayangan parsial karena sebagian matahari diblokir oleh Bumi.
Seperti diilustrasikan dalam gambar di atas, terlihat ada cahaya yang ikut masuk di daerah penumbra. Jika sekilas bulan berada di sana, hal itu tidak akan membuat warna bulan menjadi kemerahan atau yang disebut bulan darah.
"Hanya jika bulan lewat sepenuhnya ke umbra bumi, warna bulan menjadi merah dan alasannya karena cahaya teramat sangat redup," kata Petro.
Dia menjelaskan bahwa warna kemerahan berasal dari bumi sendiri. Ketika sinar matahari melewati atmosfer kita, hal itu akan berinteraksi dengan partikel seperti debu sehingga bisa memantulkan warna tertentu.
Istilah bulan darah atau blood moon sendiri sebenarnya belum lama populer, baru ada sekitar beberapa dekade terakhir.
"Saya pikir menggunakan istilah bulan darah atau blood moon hanya akan mengaburkan apa yang sedang terjadi," kata Fred Espenak, ilmuwan emeritus yang juga berasal dari Pusat Penerbangan Antariksa Goddard milik NASA.
Baca juga: Seberapa Langka Super Blood Blue Moon yang Akan Sapa Indonesia?
Istilah super moon
Istilah super moon juga dianggap agak bermasalah. Petro mengatakan, super moon pertama kali didefinisikan bukan oleh ahli astronomi melainkan oleh astrolog. Seorang astrolog, Richard Nollele, juga pernah mengklaim bahwa super moon dapat memengaruhi cuaca. Padahal tidak.
Petro berkata bahwa super moon sebenarnya tidak sesuper namanya. Ukurannya yang semakin besar dan terang disebut Petro lantaran orbit bulan yang mengelilingi bumi tidak melingkar sempurna.
Jarak bulan dan bumi bervariasi dan hal itulah yang mengubah cara manusia memandang ukurannya. Apoge adalah titik paling jauh, sementara perige adalah paling dekat.
"Jika Anda membandingkan bulan di saat dia berada di titik apogee dan ukurannya paling kecil dengan saat berada di titik perige, maka akan ada perbedaan diameter maksimum bulan sebesar 14 persen. Ini bukan hal yang bisa diperhatikan oleh mata manusia," jelas Espenak.
Istilah blue moon atau bulan biru
"Istilah bulan biru yakni dua purnama pada bulan yang sama juga sebenarnya sangat tergantung pada lokasi di mana Anda berada. Mungkin Anda bisa mengalami bulan biru, tetapi orang lain di belahan dunia lain belum tentu mengalami hal yang sama," ujar Espenak.
"Sungguh, ini adalah konstruksi manusia. Bulan tidak menciptakan kalender, manusia yang melakukannya," katanya.
Baca juga : Setelah 150 Tahun, Super Blue Blood Moon Lahir Lagi, Apa Itu?
Fenomena besok
Menurut para ilmuwan, fenomena yang akan muncul besok cukup disebut sebagai gerhana bulan, sebuah kejadian luar biasa yang dapat diamati tanpa satu pun peralatan.
Petro menjelaskan, besok bulan hanya akan berada di titik yang sangat dekat dengan bumi, dan mungkin di beberapa wilayah itu akan menjadi bulan purnama kedua dalam satu bulan kalender, yang mungkin berwarna oranye, merah, atau kecoklatan.
Rukman Nugraha, peneliti Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), juga berpendapat tentang hal ini melalui laman Facebook-nya. Dia mengatakan, lebih baik menyebutnya sebagai GBT Perige saja.
"Karena memang terjadi gerhana bulan total saat bulan berada di posisi terdekatnya dengan bumi (perige). Blue moon-nya? Terserah saja (mau disebut apa). Blue moon, green moon, bulan-bulanan juga boleh kok," tulisnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.