Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mirip Difteri, Mengapa Penyebaran TBC Sulit Dikendalikan?

Kompas.com - 17/01/2018, 19:35 WIB
Lutfy Mairizal Putra

Penulis


JAKARTA, KOMPAS.com – Tuberculosis (TBC) adalah penyakit menular yang dalam beberapa kasus dapat mematikan. Penyebaran penyakit ini disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis lewat percikan air dari pengidap yang terbawa udara, seperti batuk dan bersin.

Kondisi ini mirip dengan penyebaran difteri, yang ditetapkan sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB) oleh Kementerian Kesehatan di penghujung 2017. Hingga kini imunisasi ulang atau ORI (Outbreak Response Immunization) untuk difteri terus dilakukan.

Kemenkes menduga wabah muncul karena adanya penolakan saat pemberian vaksin. Wabah difteri tak hanya menyerang anak-anak tapi juga menjangkit orang dewasa dan tak kenal musim. Tak hanya di Indonesia, Bangladesh dan Yaman juga mengalami wabah difteri.

Lalu bagaimana dengan merebaknya TBC?

Baca juga : Indonesia Peringkat Kedua TBC di Dunia, Waspadai Gejalanya

Dokter spesialis paru Rumah Sakit Pusat Persahabatan Dr. dr. Erlina Burhan SpP(K), MSc berkata infeksi TBC terjadi sejak masa TBC laten. Di mana seseorang sudah terinfeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis tapi tidak ada tanda dan gejala dari penyakit TBC.

Erlina menambahkan, TBC laten jamak terjadi pada anak-anak. Saat dewasa sistem imun menurun, maka akan memungkinkan TBC laten menjadi aktif.

“Pada saat dewasa dia mungkin sistem imunnya turun, sehingga menjadi TBC (aktif). Kemudian dia menularkan (ke orang lain) karena sebagian (orang yang terinfeksi TBC) tidak berobat. Jadi sumber penularan," ujar Erlina dalam acara “Talkshow Kesehatan tentang TBC” di kantor pusat Perkumpulan Pemberantasan Tuberkolosis Indonesia (PPTI), Jakarta, Salasa (16/1/2018).

Erlina menjelaskan keputusan pengidap TBC tidak berobat karena ketidaktahuan akan gejala atau tanda-tanda penyakit TBC. Saat pengidap batuk, mungkin dia berpikiran bahwa itu adalah batuk biasa. Lain ceritanya jika saat batuk sudah mengeluarkan darah.

Selain itu, pengidap TBC aktif juga masih banyak yang enggan berobat, salah satunya karena lama waktu yang dihabiskan dalam sekali pengobatan.

Baca juga : Dalam Pengobatan TBC, Ibu Tetap Bisa Menyusui

Pengobatan hingga enam bulan tanpa henti dirasa memberatkan pengidap TBC yang tengah bekerja. Di sisi lain, mengabarkan kondisi kesehatan kepada atasan memiliki risiko tinggi  kehilangan pekerjaan.

"Sering dari pasien, begitu tahu TBC dia diarahkan resign. Memang tidak disuruh, tapi diarahkan ke sana. Ini yang menyebabkan pasien tidak mau diobati. Edukasi masyarakat masih kurang. TBC masih stigma," jelas Erlina.

Sulitnya mengendalikan TBC membuat Indonesia berada pada peringkat kedua pengidap TBC terbanyak di dunia pada tahun 2016. Kasus TBC baru mencapai 1.020.000 pengidap.

Peringkat pertama disandang oleh India. Setelah Indonesia, disusul China, Filipina, Pakistan, Nigeria, dan Afrika selatan.

Erlina menyarankan adanya edukasi massif TBC kepada masyarakat. Ia pun membandingkan TBC dengan program keluarga berencana yang belakangan menyusul.

“Waktu kecil, istilah kodom masih tabu. Setelah jadi dokter, ada iklan KB dan tidak ladi jadi stigma bicara tentang kondom dan di Puskesmas antre ambil kondom. TBC ini kan duluan dari KB,” ujar Erlina.

Dalam kesempatan tersebut, Erlina menceritakan tentang cara Pakistan mengedukasi soal TBC dari anak sekolah. Setelah ada di rumah, anak-anak kemudian berperann menjadi juru bicara tentang TBC untuk keluarga dan tetangganya. Bukan tidak mungkin Indonesia juga melakukan hal yang sama.

Baca juga : Wabah Difteri di Indonesia, Antara Vaksinasi dan Antibiotik

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpopuler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau