Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengapa Obat Antidepresan Kadang Tidak Manjur Atasi Depresi?

Kompas.com - 29/12/2017, 19:42 WIB
Gloria Setyvani Putri,
Yunanto Wiji Utomo

Tim Redaksi

Sumber Newsweek

KOMPAS.com - Kisah Jonghyun Shinee yang meninggal karena bunuh diri beberapa waktu lalu masih membekas dalam ingatan.

Salah satu yang diduga menjadi penyebab keputusannya adalah rasa depresi dan tertekan yang selama ini dialaminya.

Ini diceritakan Jonghyun dalam berbagai kesempatan, mulai dari acara talk show sampai surat terakhir sebelum dia menghirup karbon monoksida di apartemennya.

Hal seperti ini tidak hanya dialami oleh golongan orang terkenal yang menjadi sorotan saja. Semua orang dapat mengalaminya.

Saat sampai pada level depresi yang sulit ditangani, Mayor Depressive Disorder, di mana ada gejala dan penyebab yang berbeda untuk semua orang, hal yang dibutuhkan adalah obat antidepresan.

Namun, sekelompok peneliti menemukan bahwa antidepresan tidak dapat bekerja untuk semua orang. Hal ini dipengaruhi oleh genetik.

Baca juga : Penggunaan Antidepresan Saat Hamil Tingkatkan Risiko Autis

Dalam artikel di Newsweek, Kamis (28/12/2017), Dr. Marianne Müller, seorang psikiater dari Universitas Johannes Gutenberg, menjelaskan bahwa orang-orang depresi yang berada di titik paling rendah dan berisiko tinggi melakukan bunuh diri, tidak bisa menunggu waktu lama untuk berganti obat-obatan dan melihat efeknya.

Untuk menemukan penjelasan variasi respon dari antidepresan, Müller dan rekannya melakukan uji coba pada tikus.

Mereka memisahkan tikus ke dalam dua kelompok. Setelah itu, tikus dimasukkan ke dalam air sebelum diberi obat antidepresan SSRI (serotonin selektif reuptake inhibitor).

Beberapa tikus memberikan respon positif terhadap obat dan menunjukkan tanda bisa berenang untuk keluar dari air. Sementara yang lain, tidak mengalami perubahan dan terbaring lemas di tepian kolam. Kelompok ini hanya melakukan sedikit pergerakan untuk bertahan.

Dari tes kecil itu, Müller menganalisis faktor transkripsi dalam darah yang memberikan respon baik dan buruk.

Tim peneliti menemukan bahwa tikus yang menunjukkan respon positif terhadap obat punya gen yang lebih aktif mengatasi stres.

Mereka melihat, hal ini bisa membantu manusia, khususnya pada pasien penderita depresi.

Dalam makalah yang sudah dipublikasikan di jurnal PLOS Biology pada Kamis (28/12/2017), peneliti mengungkapkan bahwa pada manusia pun, faktor transkripsi berpengaruh.

Namun demikian, dalam dunia kedokteran, apa yang terjadi pada tikus tidak selalu cocok untuk manusia.

Baca juga : Foto Instagram Bisa Jadi Pertanda Depresi, Ini Penjelasannya

Percobaan yang dilakukan Müller terhadap tikus menunjukkan bahwa tikus dapat digunakan untuk memperagakan gejala depresi. Lebih dari itu, Müller menemukan bahwa uji coba penelitiannya kebanyakan juga terjadi pada manusia.

Dr. Victor Reus, seorang psikiater yang tidak terlibat dalam penelitian mengatakan, temuan Müller masuk akal.

Dia menambahkan, tantangan berikutnya adalah melakukan studi lebih luas.

"Ada ratusan penelitian yang melihat variasi genetik, tapi sejauh ini hasilnya mengecewakan," kata Müller.

Müller berharap, studinya dapat membantu memecahkan masalah klinis dan mencari tahu bagaimana orang-orang mendapat perawatan yang tepat.

Baca juga : Mengenal Seasonal Affective Disorder yang Dialami Jonghyun SHINee

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpopuler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau