JAKARTA, KOMPAS.com — Penurunan populasi bekantan (Nasalis larvatus) semakin mengkhawatirkan. Alih fungsi lahan, perburuan liar, dan kebakaran hutan merupakan beberapa penyebab primata endemik Borneo ini perlu segera mendapatkan konservasi.
Tak semua kalangan sadar bekantan masuk sebagai salah satu hewan yang dilindungi. Sebagian orang mungkin mengenalnya sebatas maskot tempat rekreasi di Jakarta.
Pada Maret 2016 lalu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah menetapkan bekantan sebagai bagian dari 25 hewan yang harus ditingkatkan populasinya.
Bahkan, International Union for the Conservation of Nature (IUCN) menempatkan bekantan sebagai spesies langka.
Lalu, berdasarkan the Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES), bekantan masuk dalam appendix I atau spesies yang terancam punah.
Baca juga: Mengenal Rangkong Gading, Sang Petani Hutan Sejati
Hindia Belanda juga mengeluarkan Ordonansi Perlindungan Binatang Liar pada tahun 1931 untuk melindungi bekantan.
Penilaian populasi dan kelangsungan habitat (PHVA) pada 2004 memperkirakan jumlah bekantan sebanyak 25.000 individu. Kini, jumlahnya diperkirakan menurun drastis.
“Setelah kebakaran hutan 2014, ada sekitar 2.500 individu yang berada di dalam kawasan konservasi. Lalu, di luar kawasan konservasi masih tanda tanya besar karena belum dilakukan survei,” kata peneliti Institut Pertanian Bogor (IPB), Hadi Sukadi Alikodra, dalam acara bedah buku Bekantan: Perjuangan Melawan Kepunahan di Kompleks Kemenristekdikti, Selasa (6/12/2017).
Hadi mengatakan, pakan bekantan adalah dedaunan pada pohon berkanopi tinggi. Pohon jenis ini juga digunakan untuk bersosialisasi dan tidur kala malam. Kerusakan pohon akibat kebakaran hutan membuat bekantan terpaksa menghabiskan waktunya di daratan yang meningkatakan risiko ancaman predator.
Baca juga : Benarkah Harimau Jawa Belum Punah?
“Kehilangan pohon juga bikin bekantan tidak bisa melompat. Jika jarak pohon 5 meter, lompatya tidak sampai dan akhirnya jatuh,” kata Hadi.
Cerita perburuan bekantan dikisahkan Abdurahman, warga Desa Pematang Gadung, Kecamatan Mata Hilir Selatan, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Rabu (29/11/2017) pekan lalu. Dia berbincang dengan salah seorang pemburu di Pontianak.
Sekali beburu di akhir pekan, hasilnya secara rata-rata bisa berupa 10 bekantan, 5 makaka, 3 lutung, dan 1 babi. Selain itu, hewan lain yang tertangkap dianggap bonus.
Namun, jumlah itu sebelunya telah menurun sejak tahun 2015. Sebelumnya, 20 bekantan bisa didapatkan dalam sekali perburuan.
“Menurut dia, alasan yang paling besar adalah adanya pemburu lain yang ikut berpartisipasi. Jadi mereka berebut lahan. Kalau sepekan 10, setahun ada 520 bekantan yang dia tembak. Itu baru satu orang. Belum pemburu lain,” kata Abdurahman.
Baca juga : Panda Tak Lagi Terancam Punah, Bagaimana China Melakukannya?
Peneliti WWF, Chairul Seleh, bercerita bahwa pihaknya pernah menangani landskap di Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat seluas 19.000 ha.
Di sana terdapat 50 titik perjumpaan bakantan. Namun, terjadi penurunan populasi sebesar 50 persen dalam 10 tahun terakhir akibat perburuan.
“Kami dengar ada yang melakukan perburuan bekantan di Kubu Raya. Ada juga temuan dari landskap Kubu Raya, ternyata daging bekantan itu jadi umpan yang efektif untuk berburu labi-labi,” kata Chairul.
Menanggapi fenomena itu, Direktur Jenderal Konservasi dan Sumber Daya Alam, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Wiratno, mengatakan akan segera meninjau ke lapangan dan melakukan sosialisasi status perlindungan bekantan.
Untuk itu, dia akan bekerjasama dengan Balai Konservasi Sumber Daya Alam dan pihak kepolisian.
“Bahaya sekali karena jumlahnya besar. Bekantan seperti ditinggalkan. Kita harus gerak cepat,” kata Wiranto.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.