Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Penguin Mata Kuning Terancam Punah, Apakah karena Ulah Nelayan?

Kompas.com - 29/11/2017, 17:01 WIB
Resa Eka Ayu Sartika

Penulis

Sumber Newsweek

KOMPAS.com -- Kepunahan bukan lagi berita baru. Kali ini yang menjadi sorotan adalah penguin mata kuning.

Berkurangnya populasi penguin mata kuning ini disebut-sebut akibat penangkapan ikan komersial. Para konservasionis khawatir jika tidak cepat dilakukan tindakan, burung laut ini akan segera lenyap.

Populasi penguin bermata kuning menurun di seluruh Selandia Baru, namun penurunan paling parah terjadi di pulau Whenua Hou yang juga dikenal sebagai Pulau Ikan Kod.

Whenua Hou adalah tempat perlindungan bebas predator yang didedikasikan untuk melindungi burung kakapo, penguin bermata kuning, dan beberapa spesies burung lainnya.

Dikutip dari Newsweek, Senin (27/11/2017), jumlah penguin bermata kuning telah berkurang sebanyak 7.000 ekor sejak 20 tahun yang lalu dan kini hanya menyisakan kurang dari 2.000 ekor.

Baca juga: Antartika Berduka, Ribuan Anak Penguin Mati Kelaparan

Survei penguin bermata kuning terbaru juga telah menunjukkan bahwa populasi burung dapat terus menurun. Laporan Eco Watch menyebutkan bahwa saat ini hanya ada 14 sarang yang ditemukan di seluruh pulau.

Forest & Bird, sebuah lembaga nirlaba konservasi Selandia Baru, menganggap burung-burung tersebut kemungkinan terbunuh oleh jaring ikan. Jaring ini mungkin secara tidak sengaja menangkap dan menenggelamkan penguin yang memancing ikan laut.

Biasanya, kapal nelayan komersial akan memiliki spesialis independen di kapal yang akan meninjau aktivitas mencurigakan, seperti menangkap dan membunuh penguin paling langka di dunia.

Namun, menurut Eco Watch, hanya tiga persen dari kapal pukat komersial di Selandia Baru yang memiliki pengamat resmi untuk melaporkan kematian penguin. Ini berarti sebagian besar kematian penguin tidak dilaporkan.

Oleh karena itu, organisasi tersebut meminta Kementerian Industri Primer, yang mengawasi industri perikanan, untuk "mendapatkan lebih banyak pengamat mereka ke kapal-kapal bersih dan memprioritaskan penempatan kamera pada jaring kapal yang ditetapkan."

Penguin mata kuning

Di Selandia Baru, penguin mata kuning juga dikenal sebagai Hoiho yang berarti "tukang teriak" dalam bahasa Maori.

Baca juga: Hampir Punah, Spesies Katak Baru Ditemukan di Jalan yang Terbengkalai

Tidak seperti kebanyakan penguin yang cenderung bersifat sosial, penguin bermata kuning lebih soliter dan lebih suka hidup sendiri daripada dalam kelompok. Ini menjadi faktor banyaknya kematian burung ini, selain perahu nelayan.

Kucing dan hewan mirip musang yang disebut stoat memangsa sarang burung ini. Lalu, manusia yang merusak sarang burung juga bisa menurunkan kelangsungan hidup anak-anak hoiho.

Apalagi menurut laporan Scientific American pada 8 Agustus 2012, sebuah wabah parasit darah baru saja membunuh ratusan unggas ini. Air yang menghangat karena perubahan iklim juga telah menghabiskan persediaan makanan penguin.

Pada saat ini, kondisi yang ada tidak terlalu bagus untuk penguin ini. Para ahli berharap pengamatan industri perikanan yang lebih baik dapat membantu menyelamatkan kehidupan hoiho.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Selamat, Kamu Pembaca Terpilih!
Nikmati gratis akses Kompas.com+ selama 3 hari.

Mengapa bergabung dengan membership Kompas.com+?

  • Baca semua berita tanpa iklan
  • Baca artikel tanpa pindah halaman
  • Akses lebih cepat
  • Akses membership dari berbagai platform
Pilihan Tepat!
Kami siap antarkan berita premium, teraktual tanpa iklan.
Masuk untuk aktivasi
atau
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau