Mochtar lulus dari STOVIA pada 1916, menerima gelar kedokteran dari Universitas Amsterdam pada 1927 dan menyelesaikan skripsi tentang leptospirosis di tahun yang sama.
Setelah kembali ke Hindia Belanda, ia meneliti tentang malaria dan kusta di beragam lokasi.
Mochtar kemungkinan adalah peneliti kedokteran Indonesia yang paling hebat di masa itu. Ia menulis 25 makalah di Jurnal Kedokteran Hindia Belanda dan jurnal internasional, melaporkan penelitiannya tentang leptospirosis, malaria, kusta, tuberkulosis, dan bakteriologi secara umum.
Pada Mei 1945, ia dihukum mati oleh Jepang, yang melemparkan tuduhan salah kepada Mochtar tentang tindakannya menyiapkan sejumlah vaksin tetanus yang sudah terkontaminasi. Sebagai konsekuensi, Indonesia kehilangan salah satu peneliti medis yang paling berbakat.
Para pendiri lembaga kesehatan dan penelitian
Para dokter Indonesia ini, seperti rekan mereka dari Belanda, telah menerbitkan banyak artikel pada Jurnal Kedokteran Hindia Belanda.
Hasil penelitian mereka telah memberikan sumbangsih terhadap upaya pengembangan ilmu kedokteran. Mereka juga menjadi arsitek terpenting fakultas kedokteran, rumah sakit, dan lembaga pelayanan kesehatan di Indonesia.
Ketika kita memikirkan tentang ribuan dokter lulus Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, ribuan pasien dirawat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, ribuan mahasiswa belajar ilmu medis di Universitas Gadjah Mada, kita harus ingat warisan dari para ilmuwan hebat Indonesia ini.
Begitu juga saat kita melihat saat ini peran LIPI, PKBI memajukan kesehatan reproduksi, dan lembaga riset biologi molekular kelas dunia Institut Eijkman, kita perlu ingat bahwa lembaga tersebut adalah warisan dari para dokter sekaligus peneliti andal pada era itu yang menginginkan rakyat Indonesia sehat dan cerdas.
Baca Juga : Mengutak-atik Gen, Ilmuwan Tak Sengaja Ciptakan Kumbang Bermata Tiga
*Associate Professor Sejarah dan Filsafat sains, Universitas Sydney
Artikel ini pertama kali terbit di The Conversation