Hal ini mencerminkan adanya keinginan yang lebih besar untuk menyebarkan informasi berbasis konspirasi daripada berita ilmiah yang relevan.
Setelah mempelajari bagaimana pengguna Facebook mengonsumsi berita, Bessi dan rekannya mempelajari pengguna Facebook yang dibagi menjadi dua kelompok, pembaca berita konspirasi dan pembaca berita ilmiah mainstream.
BACA: Membayangkan Bentuk Badai Irma, Jose, dan Harvey jika Bumi Datar
Namun, ada yang menarik dengan bagaimana pembaca bereaksi terhadap sebuah pemberitaan yang memiliki sifat berseberangan.
Pembaca yang mengikuti berita konspirasi cenderung tidak terlibat dengan berita ilmiah dan lebih berfokus untuk menyebarkannya, sedangkan konsumen berita ilmiah akan cenderung berkomentar di halaman konspirasi.
"Penjelasan untuk perilaku seperti ini adalah kelompok pertama ingin menyebarkan isu-isu yang dilupakan oleh media konvensional, sedangkan kelompok kedua ingin menghambat penyebaran berita konspirasi," ujar Bessi.
Lalu, seperti yang telah Anda duga, pengguna Facebook cenderung berinteraksi dengan orang-orang yang memiliki pemahaman sama dengan diri mereka sendiri.
Inilah mengapa teori konspirasi bisa terus berlanjut, meski ada banyak bukti yang berseberangan. Penemuan ini juga turut didukung oleh penelitian-penelitian sebelumnya yang menyebutkan bahwa seseorang akan cenderung mengikuti dan mempercayai hal-hal yang mendukung kepercayaannya sendiri.
Dengan kata lain, jika Anda telah mempercayai teori konspirasi, maka Anda akan cenderung mempercayainya sampai masa depan. Sama halnya jika Anda secara terus-menerus membaca berita ilmiah mainstream, Anda akan terus mempercayainya di masa depan.
Penelitian ini telah dipublikasikan di jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences.