KOMPAS.com –- Penghujung tahun 2017 membawa kabar baik tentang kondisi lingkungan kita. Lubang di lapisan ozon semakin menyusut, bahkan menjadi yang terkecil sejak 1988.
Pengukuran pada bulan September menunjukkan bahwa lubang di lapisan ozon mencapai 19,7 juta kilometer persegi atau setara dengan dua setengah kali Amerika Serikat. Jumlah itu lebih kecil 3,4 juta kilometer persegi bila dibandingkan dengan tahun 2016.
Penyusutan ini terjadi karena cuaca yang lebih hangat di stratosfer sejak tahun lalu. Kondisi itu membantu menangkis bahan kimia seperti klorin dan bromin yang menggerogoti lapisan ozon.
"Kondisi cuaca di Antartika sedikit lebih lemah dan menyebabkan suhu lebih hangat, yang memperlambat hilangnya ozon," kata Paul A Newman, Kepala Ilmuwan Bumi di Pusat Penerbangan Luar Angkasa Goddard milik NASA di Maryland.
Baca juga: Lubang Ozon di Antartika Hampir 4 Kali Lipat Luas Benua Australia
Seperti dilansir dari Washington Post 3 November 2017, bila ditelusuri ke belakang, upaya penurunan lubang ozon telah terjadi sejak pertengahan 1980-an.
Pada 1970-an, para ilmuwan untuk pertama kalinya menyadari bahwa klorofluorokarbon (CFC) merusak lapisan tipis ozon yang berada di atas Antartika.
Padahal, ozon yang merupakan gas tak berwarna melindungi bumi dari radiasi ultraviolet berbahaya. Radiasi ini bisa menyebabkan berbagai masalah, mulai dari kanker kulit, katarak, hingga mengganggu pertumbuhan tanaman.
Terdorong dari penemuan tersebut, 24 negara pun bersatu dan menandatangani Protokol Montreal. Kesepaktan internasional itu mewajibkan penghapusan penggunaan bahan kimia perusak ozon.
Baca juga : Bagaimana Harvey, Irma, dan Jose Membuktikan Perubahan Iklim?
"Ini sangat bernilai, karena pada awalnya ini hanya upaya ilmiah, dan kemudian kami dapat meyakinkan masyarakat bahwa ini adalah masalah - inilah yang akan terjadi jika kita tidak menghadapinya," kata ahli kimia Mario Molina, yang memiliki peranan penting dalam penemuan lubang ozon dan dianugerahi Hadiah Nobel untuk penelitiannya pada tahun 1995.
Pada tahun 2014, para ilmuwan di Perserikatan Bangsa-Bangsa mengkreditkan keberhasilan pemulihan lapisan ozon terhadap penghapusan CFC secara bertahap dari lemari es, pendingin udara, dan kaleng aerosol yang terjadi pada 1980-an.
Newman menuturkan, CFC sulit dihilangkan dari bumi. Zat kimia itu masih akan berada di atmosfer hingga sekitar 100 tahun ke depan. Setidaknya, lapisan ozon tidak akan kembali seperti kondisinya pada tahun 1980-an, hingga 2070.
Kini, CFC mungkin sudah bukan ancaman bagi pemulihan ozon. Namun, para peneliti telah mengidentifikasikan ancaman baru, yakni diklorometana yang merupakan sebuah bahan kimia industri.
Menurut penelitian yang dipublikasi di jurnal Nature Communications, keberadaan diklorometana telah berlipat ganda selama sepuluh tahun terakhir, dan jika diteruskan, kesempatan lapisan ozon kembali normal akan tertunda hingga 30 tahun.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.