Melihat keberhasilan tersebut, sejumlah petani mulai tertarik dengan SRI. Mereka pun menyiasati penggunaan satu bibit per lubang.
“Pola tanam 2-1-2, jadi 2 anakan terus yang sebelah satu, sebelahnya lagi dua. Untuk jaga-jaga kalau ada yang mati. Ini harus dapat pendampingan, tidak bisa dilepas,” kata Yanes.
Sementara itu, Bayu Dwi April Nugroho, anggota Klimatologi Pertanian dan Lingkungan FTP UGM mengatakan, di area deplot juga dipasangkan telemetri (field monitoring system) yang ditujukan untuk mengumpulkan data sebagai analisis, antara lain sensor radiasi sinar matahari, curah hujan, kelembapan, dan kondisi tanah.
Data dari sensor tersebut diambil per 30 menit dan dikirimkan ke server per hari. Hasil analisis data diharapkan dapat menggambarkan prediksi keadaan lahan pertanian.
“Nanti bisa dilihat kapan dikasih pupuk, kapan airnya perlu ditambah,” kata Bayu.
Bayu juga berpendapat bahwa sistem SRI dapat menurunkan emisi metan yang disumbangkan oleh pertanian, meski menurut Murtiningrum, hal tersebut masih berada dalam tahap penyempurnaan metodologi untuk menghitung angka pengurangan emisi.
Kepala Biro Perencanaan, Organisasi, dan Tatalaksana (Renortala) Kementerian PPN / Bappenas Rohmad Supriadi berkata bahwa pihaknya mendorong program adaptasi lingkungan terhadap perubahan iklim dimasukkan ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah hingga ke tingkat Kabupaten.
"Program adapatasi terhadap lingkungan berdampak kepada masyarakat. Itu saya kira fokus inilah yang kita akan dorong dalam perencanaan tersebut dan kemudian kementerian terkait utuk bersama mengatasi iklim," kata Rohmad.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.