Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Kekurangan Air Bukan Hambatan Bertani di NTT, Ini Rahasianya

KUPANG, KOMPAS.com –- Menurut pendapat konvensional, menanam padi membutuhkan cukup air untuk irigasi, terutama saat dimulainya masa penanaman. Air diperlukan untuk merendam bibit padi terlebih dahulu sebelum padi muncul ke permukaan.

Namun, bagaimana bila curah hujan rendah dan kodisi air irigasi tidak memadai? Dengan periode musim kemarau yang lebih panjang, kekeringan adalah kejadian umum di Nusa Tenggara Timur.

Untuk mengatasi hal itu, penanaman padi bisa dilakukan dengan cara System of Rice Intensification (SRI). Teknik yang berasal dari Madagaskar ini sebetulnya telah masuk ke Indonesia sejak tahun 2002, tetapi hingga kini belum banyak yang menerapkannya.

Sekretaris Departemen Teknik Pertanian dan Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian (FTP) Universitas Gajah Mada (UGM), Murtiningrum mengatakan, jika menggunakan SRI, kondisi tanah tetap lembab tetapi tidak sampai merendam bibit padi.

Bibit padi yang ditanam juga tidak sebanyak teknik konvensional yang bisa mencapai 5-6 bibit padi per lubang. Dalam teknik SRI, setiap lubang hanya ditanami satu bibit.

“Ditaruh sedikit saja. Biasanya dipencet sampai dalam. Kalau SRI jaraknya antar bibit diperrenggang sekitar 25-30 sentimeter,” kata Murtiningrum di Desa Baumata, Kecamatan Taebenu, Kabupaten Kupang, NTT, Sabtu (21/10/2017).

Teknik ini akan meciptakan kenyamanan bagi padi untuk tumbuh. Dengan jarak yang lebih lebar, tak ada kompetisi untuk mendapatkan zat hara. Lalu, air yang tak merendam padi juga memungkinkan oksigen masuk dan membuat tanah lebih subur sehingga satu lubang padi bisa berisi hingga 120 anakan padi.

Meski demikian, Murtiningrum berkata bahwa pengkondisian tersebut bagai pedang bermata dua. Dibandingkan dengan pertanian konvensional, gulma akan tumbuh lebih banyak sehingga petani harus lebih rajin. Dalam satu kali masa tanam, misalnya, penyiangan gulma bisa sekitar 3-4 kali, sedangkan pada sistem konvensional hanya perlu sekali.

“Kalau SRI padinya belum ada karena baru satu pekan, tapi gulmanya (sudah) harus diberantas. Kalau tidak nanti keduluan, lebih tinggi gulmanya. Ini bahaya,” kata Murtiningrum.

FTP UGM telah mengenalkan SRI di Desa Baumata terhitung sejak November 2016. Hingga akhir Oktober 2017, telah terjadi tiga kali panen. Proyek ini merupakan salah satu dari tujuh program adaptasi dan ketangguhan yang dikelola oleh Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF).

Penerimaan masyarakat terhadap SRI tak bisa dibilang bukan tanpa rintangan. Masyarakat tak percaya dengan penggunaan satu bibit padi per lubang. Alasannya, jika gagal tumbuh, petani tak bisa lagi menggantinya dengan bibit baru.

Hal ini diungkapkan oleh Yanes Sain, pemilik tanah yang menjadi lokasi deplot (demonstration plot) seluas 10 are (1000 meter persegi).

“Petani sudah biasa 5-6 bibit lalu jadi satu bibit, ya khawatir. Kalau satu gagal dan mati, siapa yang mau sulam lagi, sementara buruh taninya sudah pindah ke tempat lain. Makanya sulit menerima itu,” kata Yanes.

Untuk membuktikan metode SRI, Yanes pun membagi lahan deplot menjadi dua, masing-masing lima are. Dengan cara konvesional, diperlukan 30 kilogram bibit padi, sedangkan SRI hanya perlu satu kilogram. Untuk keduanya, Yanes menggunakan pupuk organik.

Menurut Yanes, hasil panen pertama tak cukup menggembirakan. Perbedaannya hanya terpaut 10 kilogram lebih banyak dibandingkan sistem konvensional, yakni sekitar 600 Kg untuk metode SRI. Pada panen kedua, hasilnya dua kali lipat. Yanes mengklaim bisa mendapatkan 1,2 ton dari 10 are.

Melihat keberhasilan tersebut, sejumlah petani mulai tertarik dengan SRI. Mereka pun menyiasati penggunaan satu bibit per lubang.

“Pola tanam 2-1-2, jadi 2 anakan terus yang sebelah satu, sebelahnya lagi dua. Untuk jaga-jaga kalau ada yang mati. Ini harus dapat pendampingan, tidak bisa dilepas,” kata Yanes.

Sementara itu, Bayu Dwi April Nugroho, anggota Klimatologi Pertanian dan Lingkungan FTP UGM mengatakan, di area deplot juga dipasangkan telemetri (field monitoring system) yang ditujukan untuk mengumpulkan data sebagai analisis, antara lain sensor radiasi sinar matahari, curah hujan, kelembapan, dan kondisi tanah.

Data dari sensor tersebut diambil per 30 menit dan dikirimkan ke server per hari. Hasil analisis data diharapkan dapat menggambarkan prediksi keadaan lahan pertanian.

“Nanti bisa dilihat kapan dikasih pupuk, kapan airnya perlu ditambah,” kata Bayu.

Bayu juga berpendapat bahwa sistem SRI dapat menurunkan emisi metan yang disumbangkan oleh pertanian, meski menurut Murtiningrum, hal tersebut masih berada dalam tahap penyempurnaan metodologi untuk menghitung angka pengurangan emisi.

Kepala Biro Perencanaan, Organisasi, dan Tatalaksana (Renortala) Kementerian PPN / Bappenas Rohmad Supriadi berkata bahwa pihaknya mendorong program adaptasi lingkungan terhadap perubahan iklim dimasukkan ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah hingga ke tingkat Kabupaten.

"Program adapatasi terhadap lingkungan berdampak kepada masyarakat. Itu saya kira fokus inilah yang kita akan dorong dalam perencanaan tersebut dan kemudian kementerian terkait utuk bersama mengatasi iklim," kata Rohmad.

https://sains.kompas.com/read/2017/10/22/180700123/kekurangan-air-bukan-hambatan-bertani-di-ntt-ini-rahasianya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke