Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita Doni Widyandana Mengungkap Penyakit Mata Anak di Bantul

Kompas.com - 18/10/2017, 09:00 WIB
Gloria Setyvani Putri

Penulis

YOGYAKARTA, KOMPAS.com - "Doni" Widyandana, dosen UGM yang mendapat penghargaan dari European Society of Catarat and Refractive Surgeons (ESCRS) di Lisbon, Portugal berkat penelitian kelainan mata pada anak di Bantul, Yogyakarta, menceritakan perjalanan penelitiannya yang melibatkan ribuan orang.

Paper ini sudah dibuatnya sejak 2016 selama kurang lebih enam bulan di Bantul, Yogyakarta. Alasan sederhana dia memilih Bantul, karena jumlah penduduk di Kabupaten ini berkisar satu juta penduduk. Hal ini membantunya untuk menghitung sampel.

Pekerjaannya ini tidak sendirian. Dia melibatkan 678 relawan yang diberi nama Key Informant (KI) dari 17 kecamatan di Bantul. Relawan tersebut rata-rata berusia dewasa, di mana hanya tiga orang relawan berjenis kelamin laki-laki.

Tugas KI ini adalah untuk melakukan pemeriksaan mata pada anak-anak (usia 0-18 tahun) di Bantul. Sebelum turun ke lapangan, mereka mendapat pelatihan terlebih dahulu.

Mulai dari melihat riwayat penyakit anak dan keluarga, keluhan yang dirasakan pada mata, dan melakukan pemeriksaan tajam penglihatan. Misalnya, anak dapat melihat dalam jarak berapa meter atau anak dapat menghitung jari dalam jarak berapa meter.

Penelitian ini tidak dilakukan Doni seorang diri. Ini merupakan penelitian besar yang didukung oleh Lions Club International Foundation (LCIF) dan Perdami Yogyakarta Indonesia. Juga melibatkan tiga institusi, yakni CSF Global, Dhaka, Bangladesh; LSM Dria Manunggal, Indonesia, dan Depth Ophthalmology Gadjah Mada University, Indonesia.

"Jadi relawan yang sudah kita latih, mereka kemudian ditugaskan untuk memeriksa anak-anak di wilayah mereka. Kalau curiga ada kelainan mata, dikirim ke vision camp (VC) seperti klinik keliling, agar anak-anak melakukan pemeriksaan," jelasnya.

Jika sudah terkumpul 50 anak yang dirasa memiliki gangguan penglihatan, mereka akan langsung diperiksa di delapan VC yang sudah tersebar di Bantul.

Semua peralatan untuk pemeriksaan disiapkan lengkap. Mereka juga menyiapkan rujukan ke rumah sakit untuk anak-anak yang memang perlu dirujuk. Selain itu juga dilakukan konseling oleh LSM Dria Manunggal, Indonesia.

"Kita periksa lensa mata bagian depan, kelopak mata, bola mata, sampai dalam bola mata. Kita periksa lengkap," ujarnya.

Hasil Penelitian

Dari 631 pasien anak yang diperiksa di VC, sekitar 49.44% mengalami gangguan pada penglihatan mereka. Atau sekitar 319 anak. Sementara pasien anak yang dikirim ke VC lainnya, normal.

Dari angka tersebut, ditemukan tiga gangguan penglihatan utama pada anak. Pertama, gangguan refraksi. Yakni kelainan pembiasan cahaya sehingga bayangan tidak fokus tepat di retina dan mengakibatkan penglihatan kabur. Dalam hal ini, anak-anak harus menggunakan kacamata sejak dini.

Kemudian kelainan lensa mata anak seperti katarak. Dan kelainan bola mata, di mana perbedaan bola mata kanan dan kiri tidak sama.

- Gangguan refraksi terjadi pada rentan 10 sampai 15 tahun, jumlahnya 32%
- Kelainan lensa mata, katarak, jumlahnya 16%
- Kelainan bola mata, jumlahnya 12%.

Pria yang sudah menyelesaikan pendidikan S3 di Maastricht University, Belanda, itu menyebut fakta menarik lainnya. Dia menemukan, anak-anak dengan kelainan mata berat, angka prevalansinya mencapai 0.05 %. Kelainan mata berat adalah, anak tidak mampu menghitung jari dalam jarak tiga meter.

Juga ditemukan angka prevalensi 0.09 % untuk anak yang mengalami kebutaan. Dalam hal ini latar belakangnya beragam. Ada yang sejak lahir atau saat proses tumbuh kembang.

"Kalau kita gabung, kelainan mata berat ini dan buta ini 0.14 %. Kalau di level dunia, dengan Indonensia sebagai developing country, angka tersebut termasuk bagus. Jadi kita tidak perlu malu, tapi juga tidak boleh berbangga," jelasnya.

Meski angka tersebut masih masuk standar untuk negara berkembang, tetapi angka tersebut baru ditemukan di Kabupaten Bantul, Yogyakarta saja. Mungkin saja di luar pulau Jawa ditemukan angka yang lebih buruk. "Kalau di Bantul segitu, di daerah lain harus waspada," ujarnya.

Dengan temuan gangguan refraksi menjadi angka yang paling tinggi, dia berharap hal ini dapat menjadi kebijakan pemerintah. Khususnya untuk melakukan screening pada anak-anak sekolah. Anak yang membutuhkan kacamata harus memakai kacamata.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau