Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 24/08/2017, 08:02 WIB
Lutfy Mairizal Putra,
Shierine Wangsa Wibawa

Tim Redaksi

Sumber Newsweek

JAKARTA, KOMPAS.com –- Rasisme, dalam berbagai bentuknya, mengancam kehidupan majemuk yang telah terjalin. Persaudaraan antar manusia tak lagi harmonis karena adanya hasrat untuk menjadi superior dibandingkan kelompok masyarakat tertentu.

Pada akhir pekan lalu, sejumlah orang melakukan gerakan supremasi kulit putih di Charlottesville, Virginia, Amerika Serikat. Aksi itu diikuti oleh sembilan aksi serupa di tempat lain di AS.

Tindakan superioritas terhadap kelompok ras dan etnis lain tersebut membuat sejumlah psikiater di Amerika Serikat mengategorikannya sebagai penyakit mental. Namun, belum ada kesepatakan dari Asosiasi Psikologi Amerika (APA).

(Baca juga: Indonesia Negara Majemuk, Berkah atau Musibah bagi Pengembangan Iptek?)

Desakan psikiater

Alvin Poussaint adalah seorang profesor psikiatri di Harvard Medical School yang pernah memberikan perawatan medis dan psikologis kepada aktivis hak-hak sipil di Jackson, Mississippi. Bersama beberapa psikiater lainnya, dia pernah mengusulkan kepada APA bahwa rasisme ekstrem yang menyebabkan kekerasan tidak hanya persoalan budaya dan sosial.

Mereka menilai rasisme ekstrem termasuk dalam penyakit jiwa dan meminta agar rasisme ekstrem dimasukkan ke dalam Manual of Mental Disorder (DSM) – pedoman dokter untuk diagnosis pasien - sebagai “gangguan delusional”. Namun permintaan tersebut ditolak.

"Mereka merasa bahwa rasisme sudah tertanam dalam budaya, sampai hampir normatif, sehingga Anda harus menghadapi semua faktor budaya yang mengarah pada perilaku ini," kata Poussaint seperti dilansir dari Newsweek.

Menurut Poussaint, jika rasisme ekstrem masuk dimasukkan ke dalam DSM, hal itu justru akan menguntungkan masyarakat. Anggota masyarakat yang menderita rasisme ekstrem akan bisa mengakses layanan seperti konseling dengan psikiater, dan masyarakat yang berpotensi menjadi korban akan terlindungi.

Poussaint menilai, rasisme ekstrem merupakan bentuk paranoia. Dengan terapi, dia berupaya untuk membantu “pasien” mengetahui asal mula seperioritas yang dipercayai.

"Psikiater lain telah memberi kesaksian dan mengakui bahwa orang-orang semacam ini dapat memperbaiki diri melalui perawatan jika mereka memahami kepercayaan tersebut dan mengapa mereka memproyeksikannya ke orang lain," katanya.

Ternyata, Poussaint tidak berjalan sendiri. Carl Bell, seorang psikiater di Jackson Park Hospital Family Medicine Clinic dan profesor psikiatri klinis di University of Illinois di Chicago's School of Medicine, juga memandang rasisme ekstrem sebagai bias patologis yang menandai gangguan kepribadian.

Kepada APA, Bell mengusulkan bias patologis ditambahkan ke dalam DSM sebagai ciri gangguan kepribadian. Namun, APA kembali menolak karena organisasi tersebut menilai rasisme selalu ada di masyarakat.

Pada tahun 2006, APA akhirnya mengakui beberapa faktor kejiwaan yang menyebabkan seseorang menjadi rasis, meskipun mereka menegaskan bahwa penelitian lebih jauh terhadap hipotesis tersebut masih diperlukan.

Gangguan mental

Bukti bahwa rasisme adalah wujud gangguan mental terlihat pada pembunuhan yang dilakukan oleh Dylann Roof. Dengan membunuh sembilan orang berkulit hitam di Charleston tahun 2015 lalu, Roof didiagnosis menderita gangguan kepribadian schizoid.

Halaman:
Baca tentang



Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau