Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Indonesia Negara Majemuk, Berkah atau Musibah bagi Pengembangan Iptek?

Kompas.com - 23/08/2017, 17:20 WIB
Lutfy Mairizal Putra

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com –- Sebagai negara dengan penduduk lebih dari 250 juta jiwa, Indonesia diisi oleh beragam suku bangsa. Tepatnya, 1.340 suku bangsa dengan corak kebudayaan yang berbeda.

Kemajemukan juga bertambah bila dilihat dari banyaknya agama yang ada. Setidaknya, terdapat enam agama yang dipeluk mayoritas masyarakat. Jumlah itu, belum termasuk kepercayaan yang berkembang.

Namun, mengelola kemajemukan tidaklah semudah mengucapkan semboyan Bhineka Tunggal Ika. Konflik dan pertikaian tak sekali muncul untuk menguji kemajemukan, dan situasi ini membuat pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi kurang dilirik.

(Baca juga: Kenapa Indonesia Tak Maju-maju dalam Sains dan Teknologi?)

Azyumardi Azra punya pendapat berbeda. Penerima Sarwono Award 2017 dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) itu meyakini bahwa kemajemukan Indonesia bisa menjadi sebuah berkah. Heterogenitas budaya akan membawa kita pada kekayaan budaya yang berguna bagi pengembangan pengetahuan.

“Keragaman Indonesia yang luar biasa betul-betul rahmat. Indonesia punya potensi yang sangat kaya dengan kebudayaan, kemanusiaan,” kata Azyumardi di gedung LIPI, Jakarta, Rabu (23/8/2017).

Menurut Azyumardi, homogenitas masyarakat dan agama tak menjamin sebuah bangsa-negara dapat hidup tanpa konflik. Dilihat dari jejak sejarah, hal itu terjadi pada dunia barat.

Azyumardi mengatakan, Indonesia tak pernah memiliki konflik agama maupun suku bangsa yang terjadi secara berkepanjangan. Bahkan, situasi seperti itu telah tercipta sejak nama Indonesia belum disematkan.

(Baca juga: Mengapa Banyak Ilmuwan Indonesia yang Hengkang ke Luar Negeri?)

“Karena watak budaya Indonesia adalah watak budaya yang toleran. Kita beruntung dengan watak budaya yang akomodatif saling bisa menerima. Kita juga kaya dengan kearifan lokal yang membuat satu suku bangsa. Jadi ini betul-betul berkah,” ujar Azyumardi.

Masyarakat Indonesia tentu masih ingat dengan penggunaan baju adat dalam upacara peringatan kemerdekaan RI ke-72 di Istana Presiden. Dengan kebijakan tersebut, pemerintah menjadi cermin kekayaan yang dimiliki.

Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla pun sempat “bertukar” pakaian adat saat menghadiri Sidang Tahunan MPR dan sidang Bersama DPR-DPD. Jokowi mengenakan pakaian adat Bugis, tempat Kalla dilahirkan. Begitu juga dengan Kalla yang menggunakan pakaian adat Jawa, kampung halaman Jokowi.

“Saya sangat mengapresiasi. Kebhinekaan harus diperkuat. Tidak hanya dalam prinsip, Namun, juga dalam kehidupan resmi negara. Itu penting karena masih ada pandangan stereotipikal yang negatif satu sama lain,” ucap Azyumardi.

Meski terlambat, Azyumardi juga bersyukur pemerintah telah membuat Peraturan Pengganti Undang-Undang Nomor 2 tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarkatan (Ormas). Ia menilai, ormas yang tak sesuai dengan Pancasila dapat mengancam kemajemukan.

“Harusnya ini dikeluarkan oleh Presiden terdahulu. Tapi terlambat lebih baik dari pada tidak. Ini tanggung jawab kita semua untuk memperkuat kebhinekaan. Jangan anggap ini sudah selesai. Kita harus tumbuhkan terus,” kata Azyumardi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com