Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 19/08/2017, 15:33 WIB

KOMPAS.com -- Seorang pakar kedokteran nuklir Australia salut dengan antusiasme ilmuwan dan praktisi di Indonesia dalam mengembangkan teknologi kedokteran di tengah keterbatasan pendanaan dan infrastruktur.

Apresiasi ini disampaikan Profesor Dale L. Bailey, pakar fisika kedokteran nuklir dari University of Sydney dan Kepala Departemen Kedokteran Nuklir dari Royal North Shore Hospital, Sydney. Dia hadir dalam Pertemuan Ilmiah Tahunan Fisika Medis dan Biofisika Indonesia yang diselenggarakan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA), Universitas Indonesia (UI), di Depok pekan lalu.

Dalam forum ini Prof. Bailey memaparkan kemajuan dan pemanfaatan teknologi kedokteran nuklir yang banyak digunakan terutama dalam menangani penyakit kanker di Australia. Pemaparannya itu dihadiri sekitar 200 fisikawan medis dan praktisi kedokteran nuklir dari berbagai perguruan tinggi dan rumah sakit di Indonesia.

Prof Dale L Bailey menjelaskan mengenai pemanfaatan kedokteran nuklir di Australia kepada peserta Pertemuan Ilmiah Tahunan Fisika Medis dan Biofisika Indonesia di Depok, Jawa Barat, pekan lalu. ABC Iffah Nur Arifah Prof Dale L Bailey menjelaskan mengenai pemanfaatan kedokteran nuklir di Australia kepada peserta Pertemuan Ilmiah Tahunan Fisika Medis dan Biofisika Indonesia di Depok, Jawa Barat, pekan lalu.

Ditemui oleh jurnalis ABC di Jakarta, Iffah Nur Arifah, Prof. Bailey menjelaskan dirinya telah bekerjasama dan banyak memberi pelatihan seputar kedokteran nuklir di Indonesia sejak lama. Dia mengaku kagum melihat perkembangan luar biasa terkait pemanfaatan kedokteran nuklir di Indonesia dalam kurun waktu tiga dekade terakhir.

"Saya datang dan terlibat dalam kedokteran nuklir di Indonesia sejak tahun 1998. Saya ingat tempat pertama yang saya kunjungi, fasilitasnya masih sepenuhnya disokong pendanaan dan listrik di fasilitas itu setiap sore mati," kenangnya.

"Peralatan hibah yang harganya sangat mahal, tidak digunakan karena tidak ada yang bisa mengoperasikannya dan akhirnya rusak. Tragis sekali," tambah Prof. Bailey.

Namun situasi itu kini telah banyak berubah.

"Saat ini sudah ada sistem lebih baik yang berjalan. Sudah ada beberapa alat PET/CT scanner di Jakarta dan Bandung. Beberapa pusat juga menyediakan layanan ini. Alat-alat yang ada memang masih menggunakan teknologi dunia ketiga, tapi mereka sangat mahir dalam menggunakannya. Hal itu sangat membantu," tambahnya.

Menurut Prof Bailey perkembangan yang ada di Indonesia masih dapat diperluas. Namun kendala berupa dana dan infrastruktur diakuinya masih menjadi isu utama pengembangan sektor ini di negara-negara berkembang.

Kondisi ini, menurutnya, sangat bisa dimaklumi karena teknologi yang digunakan dalam kedokteran nuklir membutuhkan peralatan yang tidak murah. Padahal Indonesia memiliki banyak isu kesehatan lain yang mungkin perlu diprioritaskan.

Namun dia memuji antusiasme pegiat kedokteran nuklir di Indonesia dalam menyikapi keterbatasan tersebut dengan lebih memfokuskan perhatian pada kajian kedokteran nuklir. Misalnya kajian dosimetri, yakni cara menentukan dosis radiofarmaka yang akan disuntikkan ke tubuh pasien agar sesuai dengan kebutuhan individual pasien.

"Ini sesuatu yang sangat mungkin dilakukan. Mereka mampu mengembangkan kepakaran dalam hal ini karena dosimetri tidak butuh sumber daya yang banyak, tidak perlu mesin yang mahal. Hanya perlu secarik kertas dan penghitungan radioaktif. Dan saya pikir Indonesia saat ini memiliki pengetahuan yang jauh lebih kuat dalam bidang yang satu ini dibandingkan dengan di negara-negara berkembang lainnya," ungkap Prof Bailey.

Antusiasme mengembangkan kedokteran nuklir ini dibenarkan oleh seorang peneliti Kedokteran Nuklir lulusan Universitas Wollongong, Australia, Nur Rahmah Hidayati.

Menurut Nur Rahmah yang kini bekerja di Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN), pihaknya terus membangun kerjasama antar lembaga demi meningkatkan kapasitas fisikawan medis dan praktisi medis di rumahsakit. Upaya sejenis juga dilakukan dengan berusaha membangun jaringan internasional seperti dengan Lembaga Atom Internasional (IAEA).

"Kami selalu berusaha menjalin kerjasama antarlembaga. Kami berusaha mengacu pada perkembangan dunia kedokteran nuklir di tingkat internasional. Mungkin kita memang tidak sehebat mereka. Tapi setidaknya kita tahu perkembangannya seperti apa dan kita akan berusaha mengaplikasikan pengetahuan tersebut," katanya.

 

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Rekomendasi untuk anda
28th

Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!

Syarat & Ketentuan
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.

Terkini Lainnya

Bagaimana Cincin Saturnus Terbentuk?

Bagaimana Cincin Saturnus Terbentuk?

Fenomena
Mengatasi Polusi Udara Dengan Teknologi Plasma

Mengatasi Polusi Udara Dengan Teknologi Plasma

Fenomena
Bagaimana Seharusnya Sampah Dipilah?

Bagaimana Seharusnya Sampah Dipilah?

Kita
Bagaimana Terumbu Karang Terbentuk?

Bagaimana Terumbu Karang Terbentuk?

Oh Begitu
Apa Itu BPA dan Dampaknya bagi Kesehatan?

Apa Itu BPA dan Dampaknya bagi Kesehatan?

Oh Begitu
Apakah Ikan Air Tawar Terbesar di Dunia?

Apakah Ikan Air Tawar Terbesar di Dunia?

Fenomena
Apa Saja Dampak Siklon Tropis terhadap Wilayah Indonesia?

Apa Saja Dampak Siklon Tropis terhadap Wilayah Indonesia?

Fenomena
Fakta-fakta Menarik Kentut, Soda Bikin Lebih Sering Kentut (Bagian 2)

Fakta-fakta Menarik Kentut, Soda Bikin Lebih Sering Kentut (Bagian 2)

Oh Begitu
Seberapa Akurat Ingatan Masa Kecil Kita?

Seberapa Akurat Ingatan Masa Kecil Kita?

Kita
Seperti Apa Gejala Virus Nipah yang Parah?

Seperti Apa Gejala Virus Nipah yang Parah?

Oh Begitu
Seperti Apa Hiu Tertua yang Berusia Ratusan Tahun?

Seperti Apa Hiu Tertua yang Berusia Ratusan Tahun?

Oh Begitu
Apakah Ikan Air Asin Bisa Hidup di Air Tawar?

Apakah Ikan Air Asin Bisa Hidup di Air Tawar?

Oh Begitu
8 Cara Menjaga Kesehatan Saat Cuaca Panas Ekstrem

8 Cara Menjaga Kesehatan Saat Cuaca Panas Ekstrem

Oh Begitu
Apa Penyebab Cuaca Panas Ekstrem di Indonesia?

Apa Penyebab Cuaca Panas Ekstrem di Indonesia?

Oh Begitu
Mengapa Tidak Ada Narwhal di Penangkaran?

Mengapa Tidak Ada Narwhal di Penangkaran?

Oh Begitu
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Verifikasi akun KG Media ID
Verifikasi akun KG Media ID

Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.

Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.

Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com