Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita Karut Marutnya Yogyakarta di Awal Era Kemerdekaan

Kompas.com - 17/08/2017, 19:54 WIB
Monika Novena

Penulis

KOMPAS.com - Awal tahun 1946 ibukota Republik Indonesia resmi pindah ke Yogyakarta. Kondisi beberapa wilayah termasuk Jakarta tidak stabil karena di duduki oleh Belanda.

Pemerintah Republik Indonesia, termasuk di dalamnya Bung Karno, Bung Hatta beserta seluruh kabinet pun mengungsi ke Yogyakarta.

Namun ternyata gelombang pengungsi juga berasal dari orang-orang yang datang dari berbagai wilayah. Mereka yang merasa terancam keselamatannya, memilih mengungsi ke Yogyakarta yang keamanannya relatif stabil dibandingkan wilayah lain.

Akibatnya jumlah penduduk Yogyakarta pun melonjak drastis. Sensus penduduk tahun 1930 mencatat penduduk Yogyakarta sebanyak 1.558.844 jiwa. Lalu pada tahun 1949, jumlahnya bertambah dengan signifikan menjadi 1.784.304.

Koran Kedaulatan Rakjat edisi 6 Juni 1946 sampai-sampai menurunkan liputannya yang kemudian menggambarkan jika situasi Yogyakarta karut-marut.

"Orang berjubel dan berdesak-desakan seperti ikan sarden," tulis koran lokal itu.

Baca Juga: Agama Gajah Mada dan Majapahit yang Sebenarnya Diungkap

"Kondisi memang kacau saat itu sehingga melahirkan permasalahan-permasalahan baru. Seperti soal kesehatan, sosial dan ekonomi yang menerpa kalangan. Mulai dari orang kaya hingga kalangan bawah," kata Galuh Ambar Sasi, salah satu penulis buku Gelora di Tanah Raja : Yogyakarta Pada Masa Revolusi 1945-1949 saat ditemui Kompas.com, Kamis,(10/8/2017).

"Air tidak mengalir, listrik lebih sering padam, sementara sanitasi menjadi buruk sehingga timbul penyakit-penyakit di Yogyakarta," jelasnya.

Penyakit kulit Frambusia dan pes merupakan penyakit yang melanda Yogyakarta. Bukan cuma menyerang orang miskin tapi juga kaum elite.

Dalam Minggu Pagi edisi 19 April 1951, dikisahkan frambusia membuat jari tangan Walikota Yogyakarta, Poerwokoesoemo menjadi gatal-gatal. Jarinya penuh bintik merah dan bernanah.

Tentara Belanda yang mencarinya saat agresi militer sampai merasa jijik dan tidak percaya jika ia seorang walikota. Pes juga menyerang, korbannya meningkat dari tahun ke tahun.

Kantor berita Antara melaporkan peningkatan penggunaan obat suntik pes sebesar 2.253.240 liter pada tahun 1947 dan meningkat hampir enam kali lipat di pertengahan tahun 1948.

Belum usai, kesulitan dan tekanan hidup di Yogyakarta kemudian juga memicu depresi.

Depresi makin terlihat setelah agresi militer belanda pada tanggal 19 Desember 1948. Rumah sakit Lali Jiwo yang sekarang berubah namanya menjadi Rumah Sakit Ghrasia mencatat kenaikan pasiennya hingga 100% pascaperistiwa tersebut.

Penduduk asli dan para pengungsi yang tinggal di Yogyakarta juga berhadapan dengan situasi ekonomi yang buruk.

Halaman:


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau