Ditularkan melalui kontak darah, hasil surveilans Ditjen P2PL 2007-2012 menyebutkan bahwa faktor risiko penularan hepatitis C adalah penggunaan narkoba suntik (27,52%), hemodialisis (15,16%), keluarga pengidap hepatitis C (13,83%), pasca operasi (8,54%), hubungan seks tidak aman (7,51%), tranfusi darah (6,84%), tato atau tindik (5,89%), tenaga kesehatan (4,42%), dan transplantasi organ (0,37%).
Dikarenakan jalur penularan tersebut, hepatitis C pun sering kali hadir bersamaan dengan infeksi lain (koinfeksi), seperti HIV.
Selain itu, penyakit ini juga sering ditemukan pada pasien gagal ginjal kronis yang melakukan hemodialisis atau cuci darah, walaupun tren menunjukkan penurunan selama beberapa tahun terakhir.
Data di RSCM, misalnya, menyebutkan bahwa pada tahun 1997, masih didapatkan 72 persen pasien hemodialisis yang terinfeksi hepatitis C. Angka ini telah menurun menjadi 38 persen pada tahun 2011. Sementara itu, infeksi hepatitis C melalui hemodialisis di RS Sardjito Yogyakarta dan RSUD dr Soetomo Surabaya masih 55 persen dan 76,3-88 persen.
Dr Wiendra berkata bahwa hal ini bisa disebabkan oleh proses hemodialisis yang tidak mengikuti prosedur operasi standar. Sebagai contoh adalah reuse dializer atau menggunakan ulang alat cuci darah yang sebenarnya diperbolehkan hingga beberapa tahun yang lalu.
Dr Irsan mengatakan, sebenarnya, tindakan ini juga dilakukan di luar negeri dan di banyak tempat. Jadi, alat cuci darah dibersihkan dan digunakan ulang untuk pasien yang sama. Namun, tindakan ini dipertanyakan (keamanannya) dan sudah tidak dilakukan lagi.
Screening dan pengobatan
Untuk memenuhi target WHO dan Kemenkes yang mengharapkan eradikasi virus hepatitis C pada tahun 2030, beberapa program, mulai dari screening hingga pengobatan, pun dilaksanakan
Kini, screening dapat dilakukan pada tingkat Puskesmas dan dilakukan pada risiko tinggi, yaitu pengguna narkoba suntik, pasien hemodialisis, keluarga dengan penderita hepatitis C, dan petugas kesehatan dan pasien yang kontak darah dengan penderita hepatitis C.
Dipaparkan oleh Dr Wiendra, alat yang digunakan untuk melakukan screening hepatitis C dan dua penyakit lainnya pada saat ini adalah Tes Cepat Molekuler. Sejauh ini, Kemenkes sudah memiliki 41 unit, tetapi diagnosis hepatitis C di Indonesia masih sangat rendah. Oleh karena itu, Kemenkes dan PPHI pun berharap agar lebih banyak penduduk yang melakukan screening.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.