Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengenal Hepatitis C, Infeksi Bisu yang Menghantui Indonesia

Kompas.com - 16/08/2017, 22:12 WIB
Shierine Wangsa Wibawa

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com -- Hepatitis adalah salah satu penyakit yang sering menjangkiti masyarakat Indonesia. Hasil Riset Kesehatan Dasar 2013 memperkirakan bahwa sekitar 1,5 – 3 juta orang Indonesia sedang terinfeksi hepatitis. Hal ini berarti setidaknya satu dari 10 orang di Indonesia mengidap hepatitis kronis.

Sayangnya, pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan penyakit ini sangat kurang sehingga perlu ditetapkan Hari Hepatitis Sedunia yang jatuh setiap 28 Juli. Bahkan, 95 persen dari pengidap tidak mengetahui bahwa mereka telah terinfeksi oleh hepatitis.

(Baca juga: 6 Hal yang Penting Diketahui tentang Hepatitis C)

Oleh karena itu, Dr Irsan Hasan SpPD-KGEH selaku Ketua Peneliti Hati Indonesia (PPHI) dan Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung, Dirjen P2P Kemenkes RI, Dr Wiendra Woworuntu MKes, hadir di acara diskusi media “Hepatitis C dan Komplikasinya” untuk kembali mengingatkan masyarakat mengenai hepatitis, terutama hepatitis C.

Berbicara di acara yang diadakan oleh Forum Ngobras di Jakarta, Rabu (16/8/2017), Dr Irsan Hasan menjelaskan bahwa virus hepatitis sebenarnya ada lima jenis, yaitu A,B,C,D, dan E. Akan tetapi, hanya B, C, dan D yang dapat menyebabkan infeksi kronis. Lalu, dari ketiga jenis tersebut, hepatitis C adalah yang paling bermasalah.

Pasalnya, walaupun sama-sama bisa menyebabkan sirosis dan kanker, hepatitis B dapat sembuh dengan sendirinya bila kekebalan tubuh meningkat. Sebaliknya, virus hepatitis C sulit untuk dieleminasi oleh sistem imunitas tubuh sehingga dapat berlanjut menjadi komplikasi serius.

Selain itu, 80 persen kasus hepatitis C juga tidak menunjukkan gejala apa-apa karena hati tidak memiliki saraf.

“Perjalanan pernyakit dari mulai terinfeksi menjadi infeksi akut kurang lebih 6 bulan. Namun, kita jarang menemukan kasus akut karena tidak bergejala. Kebanyakan kasus infeksi hepatitis terdeteksi setelah menjadi infeksi kronis dan berakhir dengan sirosis (pembentukan jaringan keras) hati,” ujar Dr Irsan.

“Kalau pun sudah sirosis biasanya tetap tidak ada gejalanya. Nanti kalau fungsi hati sudah turun sampai di bawah 50 persen baru ketahuan,” ujarnya lagi.

Koinfeksi

Dr Wiendra Woworuntu MKes (kiri) dan Dr Irsan Hasan SpPD-KGEH (kanan)Shierine Wibawa Dr Wiendra Woworuntu MKes (kiri) dan Dr Irsan Hasan SpPD-KGEH (kanan)

Dr Wiendra menyampaikan bahwa kelompok usia tertinggi infeksi hepatitis C di Indonesia adalah 50-59 tahun. Namun, kelompok usia 35-39 tahun cenderung mengalami kenaikan karena mereka berada di kelompok usia produktif.

Ditularkan melalui kontak darah, hasil surveilans Ditjen P2PL 2007-2012 menyebutkan bahwa faktor risiko penularan hepatitis C adalah penggunaan narkoba suntik (27,52%), hemodialisis (15,16%), keluarga pengidap hepatitis C (13,83%), pasca operasi (8,54%), hubungan seks tidak aman (7,51%), tranfusi darah (6,84%), tato atau tindik (5,89%), tenaga kesehatan (4,42%), dan transplantasi organ (0,37%).

Dikarenakan jalur penularan tersebut, hepatitis C pun sering kali hadir bersamaan dengan infeksi lain (koinfeksi), seperti HIV.

Selain itu, penyakit ini juga sering ditemukan pada pasien gagal ginjal kronis yang melakukan hemodialisis atau cuci darah, walaupun tren menunjukkan penurunan selama beberapa tahun terakhir.

Data di RSCM, misalnya, menyebutkan bahwa pada tahun 1997, masih didapatkan 72 persen pasien hemodialisis yang terinfeksi hepatitis C. Angka ini telah menurun menjadi 38 persen pada tahun 2011. Sementara itu, infeksi hepatitis C melalui hemodialisis di RS Sardjito Yogyakarta dan RSUD dr Soetomo Surabaya masih 55 persen dan 76,3-88 persen.

Dr Wiendra berkata bahwa hal ini bisa disebabkan oleh proses hemodialisis yang tidak mengikuti prosedur operasi standar. Sebagai contoh adalah reuse dializer atau menggunakan ulang alat cuci darah yang sebenarnya diperbolehkan hingga beberapa tahun yang lalu.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com