Dari atas benteng pasukan berada, tak bisa lagi keluar, langit seolah memuntahkan tembakan, setelah mendengar berita bahwa Pangeran Purbaya mampu menambah prajurit.
[...] Menurut saya mesiunya sudah tipis, begitu disampaikan oleh para adipati, lalu berangkatlah bersama, Kota intan sudah kelihatan, tak berapa lama sudah dikepung, gubernur bersiap, cukup gugup memberikan aba-aba.
Meriam sudah disulut, suaranya bagaikan petir di tengah para adipati, serempak dihadapannya, tidak takut pada suara peluru, namun cukup gugup bagi yang berada di dalam benteng.
Peluru habis maka dibuatlah peluru dari tinja, menyingkirlah semua, menyendoki tinja, demikian Ki Mandura terkena peluru tinja, beliau berlumuran tinja.
Dengan demikian para adipati merasa jengkel, mundurlah semuanya, semua terkena tinja, kembali ke perkemahan, mandi membersihkan diri, cerita pun hening."
Lalu, di mana lokasi sesungguhnya kubu Redoute Hollandia itu?
Beberapa dekade setelah pertempuran sengit nan menjijikkan itu, kubu Hollandia mulai ditinggalkan. Kemudian, kubu usang itu digunakan sebagai penyamakan kulit. Gubernur Jenderal Johan Camphuijs, yang memerintah pada 1684 sampai 1691, menempatkannya dalam daftar monumen bersejarah. Sayangnya, tengara bersejarah itu menghilang pada 1766.
Heuken, dalam bukunya yang bertajuk Historical Sites of Jakarta, mengungkapkan bahwa dahulu memang pernah ada kampung bernama “Kota Tahi” di tenggara pusat Kota Batavia. Namun, Heuken juga menambahkan bahwa kampung berjulukan “Kota Tahi’ itu masih kerap didengar orang, setidaknya hingga pertengahan abad ke-19.
Toponimi kampung itu menandai pertahanan VOC di kubu Hollandia. Lokasinya di dekat Jalan Pinangsia Timur, tepatnya di sisi timur dari ujung selatan jalan itu. Kini lokasinya tak jauh dengan Glodok Plaza, Jakarta Barat.
“Lokasi bekas benteng Hollandia ini tak banyak yang tahu,” ungkap Ade Purnama, penggerak Sahabat Museum. Adep, demikian ia akrab disapa, menziarahi tapak pertahanan VOC itu bersama komunitasnya. Kini, tapak bangunan pertahanan itu telah menjelma kompleks ruko dan permukiman padat di ujung selatan Jalan Pinangsia Timur, Jakarta Barat. Dia juga menyaksikan bahwa Sungai Ciliwung yang pernah membatasi kubu Hollandia itu masih memiliki alur dan pola seperti empat abad silam.
Walaupun para pucuk pimpinan perang kedua belah pihak yang berseteru itu dikenang sepanjang masa, demikian menurut Adep, “Lokasi pertempuran mereka kembali sunyi dan tak diingat masyarakat.”
Hampir 400 tahun yang lalu, di tempat ini prajurit Mataram dan Eropa pernah mengorbankan ratusan bahkan ribuan prajuritnya untuk menguasai Batavia—yang kita kenal sebagai Jakarta kini. “Mereka bertempur sampai titik darah penghabisan,” ungkap Adep.
Lalu, seperti apakah rupa bangunan kubu Hollandia tatkala Mataram menyerbu Batavia pada 1628?
Adep menemukan dua rujukan, sayangnya keduanya memerikan gambaran yang berbeda tentang kubu Hollandia. Rujukan dari sumber tertulis semasa bersaksi bahwa pertahanan di sisi tenggara Kota Batavia itu berupa menara yang berpagar deretan kayu berujung runcing, ungkapnya. Namun demikian, rujukan dari peta semasa (karya Frans Florisz. van Berckenrode, 1627) menunjukkan bahwa pertahanan di timur kota itu berupa dinding batu yang melintang dari selatan hingga ke utara. Adep menduga, “Mungkin untuk pencitraan suatu daerah, yang berhasil direbut, kepada tuannya di Belanda.”
“Kami mengajak masyarakat Jakarta untuk lebih mengenal kotanya, sejarah kotanya. Walau wujudnya [Bastion Hollandia] sudah tidak ada lagi kini, lokasi pertempurannya masih dapat didatangi,” ungkap Adep. “Tidak ada yang tersisa kecuali catatan sejarah yang melegenda: Kota Tahi.”
Artikel ini sudah pernah tayang sebelumnya di National Geographic Indonesia dengan judul: Prajurit Mataram Juluki Batavia Sebagai "Kota Tahi"