Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Batavia yang Dijuluki "Kota Tahi" oleh Prajurit Mataram

Kompas.com - 28/06/2017, 16:08 WIB

KOMPAS.com -- "Pada malam hari tanggal 21 September, musuh berusaha mendekati Fort Hollandia dengan kekuatan besar," catat Gubernur Jenderal Jan Pieterzoon Coen dalam laporannya kepada Dewan Hindia pada 3 November 1628.

Kemudian Coen melanjutkan menulis, "Mereka membawa tangga-tangga dan alat-alat pelantak untuk memanjat kubu atau menghancurkan tembok-tembok. Mereka dilindungi oleh beberapa orang, yang terus menembaki kubu dengan memakai bedil laras panjang,"

"Akan tetapi," tulis Coen, "sebanyak 24 orang kami yang berada di kubu itu memberikan perlawanan yang gigih, sehingga sepanjang malam itu semua musuh berhasil dipukul mundur sampai semua mesiu habis."

Arsip pada masa VOC itu diungkap oleh Adolf Heuken, seorang pastor dan ahli sejarah Jakarta. Dalam bukunya yang bertajuk Sumber-sumber Asli Sejarah Jakarta, dia memaparkan arsip semasa dan kutipan karya sastra Nusantara yang berkait dengan awal mula Jakarta.

Pasukan Sultan Agung dari Mataram menyerang Batavia sebanyak dua kali, 1628 dan 1629. Prajurit Mataram bertempur di bawah komando Tumenggung Bahureksa dan Ki Mandurareja. Soal prajurit Mataram yang kalah perang karena kurangnya pasokan logistik dan senjata, tampaknya sudah banyak yang mencatatnya. Namun, bagaimana kisah manusia yang saling bertempur di Batavia itu sangat sedikit sumber yang berkisah.

Tampaknya, Coen pun sengaja melewatkan adegan paling epik dalam pertempuran bersejarah itu.

Johan Neuhof (1618-1672), seorang Jerman, telah menerjemahkan sebuah buku berbahasa Belanda yang berkisah tentang kocar-kacirnya kubu VOC. Buku itu dia beri judul Die Gesantschaft der Ost-Indischen Geselschaft in den Vereinigten Niederlaendern an Tartarischen Cham, terbit pada 1669. Selain berisi kisah, buku itu juga berisi 36 litografi. 

Neuhof berkisah ketika prajurit Mataram menyerang pertama kali ke Redoute Hollandia—sebuah bastion dengan bangunan pertahanan kecil yang berbentuk menara—di Batavia pada 1628.Prajurit Mataram melancarkan kecamuk serangan hebat di kubu Hollandia pada paruh kedua September 1628. Di dalam kubu, Sersan Hans Madelijn bersama 24 serdadunya—yang kabarnya hanya didukung dua artileri tempur—mencoba bertahan dari serangan pengepung.

Petrus Johannes Blok dan Philip Christiaan Molhuysen meriwayatkan sosok Madelijn dan takdir kubu Hollandia dalam Nieuw Nederlandsch Biografisch Woordenboek, yang terbit pada 1911. Para garnisun Kota Batavia itu dikepung selama sebulan penuh, sejak Agustus, sehingga komandan Mataram merasa yakin dapat merebut kubu ini. Pada malam 21 dan 22 September, kedua belah pihak bertempur habis-habisan. Lantaran sengitnya perlawanan, para garnisun VOC pun kewalahan hingga mereka kehabisan amunisi.

Madelijn, pemuda berusia 23 tahun yang asal Jerman, punya sebuah gagasan sinting. Dia menyelinap ke ruang serdadu kemudian menyuruh anak buahnya untuk membawa sekeranjang penuh tinja.  Dengan segala rasa putus asa, kubu ini melemparkan tinja mereka ke tubuh-tubuh serdadu Jawa yang meradang dan merayapi dinding kubu Hollandia. Sekejap, mereka lari tunggang-langgang karena perkara yang menjijikkan itu. Tampaknya, hasil dari gagasan Madelijn itu cukup manjur.

“O, seytang orang Hollanda de bakkalay samma tay!”—O, setan orang Belanda berkelahi sama tahi—demikian pekik prajurit Mataram, yang dikisahkan ulang oleh Neuhof.

Mereka jengkel karena terkena serangan berpeluru jenis baru yang sungguh bau itu. Hari berikutnya, prajurit Mataram mundur ke kemah mereka di pedalaman Batavia. Serangan Mataram pun gagal.

Lantaran lawan memiliki cara bertahan yang tak biasa, prajurit Mataram pernah menjuluki Redoute Hollandia itu sebagai “Kota Tahi”. Kelak, orang Jawa mencatat ada dua kota di Batavia, Kota Intan dan Kota Tahi.

Sersan Hans Madelijn tentu bangga atas prestasinya. Laporan kemenangan itu sampai juga ke Gubernur Jenderal di Kastel. Atas keberhasilan mengusir serangan Mataram, Madelijn menjadi pahlawan pada hari itu.

Kendati demikian, sebagai seorang serdadu asing, kenaikan pangkatnya tak begitu tinggi. Ia mendapatkan pangkat barunya sebagai letnan. Namun, pangkat itu juga yang membawanya berjumpa dengan ajal. Madelijn terbunuh pada usia 34 tahun, ketika sedang meredam kerusuhan di Amboina pada 1639. 

Halaman:


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau