Sejarawan dan Direktur Jenderal Kebudayaan, Hilman Farid, mengungkapkan, klaim-klaim harus disikapi secara kritis.
"Ini bukan soal penafsiran. Kalau buktinya sama lalu beda pandangan itu soal penafsiran. Tapi kalau seperti kasus Majapahit kasultanan itu bukan penafsiran karena satu pihak tidak punya bukti," katanya.
"Penulis buku Majapahit kasultanan itu sudah beda dengan peneliti. Penulis itu bekerja menurut keyakinan, peneliti bekerja berdasarkan keraguan. Ini sudah beda," imbuhnya.
Menurutnya, wacana Majapahit kasultanan sulit didiskusikan secara ilmiah sebab satu pihak tidak punya bukti arkeologi.
Ia mengajak publik untuk menaruh perhatian lebih besar pada masalah sejarah dan arkeologi yang nyata, seperti rusaknya cagar budaya.
Baca Juga: Ada Tulisan Arab pada Nisan, Bisakah Jadi Bukti Kesultanan Majapahit?