KOMPAS.com - Mahapatih Gajah Mada bukan cuma pernah diklaim sebagai seorang muslim seperti dalam buku "Kasultanan Majapahit: Fakta Sejarah yang Tersembunyi" karangan Herman Janutama.
Arkeolog Universitas Indonesia, Agus Aris Munandar, dalam interaksinya dengan berbagai kalangan kerap mendengar banyak pihak mengklaim Gajah Mada berasal dari suku atau daerah masing-masing.
"Saya pernah ketemu orang Lamongan. Orang itu percaya Gajah Mada dari Lamongan. Makamnya ada di sana, juga makam ibunya. Ibunya namanya Nyai Mada, makamnya juga ada di Desa Mada," jelasnya menerangkan.
Orang tersebut juga mengklaim bahwa Gajah Mada pernah melakukan perjalanan ke Lamongan dan mampir ke masjid untuk mengucapkan kalimat syahadat dan akhirnya masuk Islam.
"Itu cuma salah satu. Ada orang Sunda yang saya temui juga meyakini Gajah Mada berasal dari Sunda. Dia menantang saya membuktikan bahwa Gajah Mada berasal dari Sunda," ucapnya.
Baca Juga: Agama Gajah Mada dan Majapahit yang Sebenarnya Akhirnya Diungkap
"Ada lagi yang mengatakan makam Gajah Mada ada di Buton sehingga asalnya dari sana," terangnya dalam diskusi di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada Kamis (22/6/2017).
"Jadi Gajah mada itu seolah dari mana-mana. Di Lamongan ada, di Buton ada, di Lampung ada, di Sunda juga ada," ucapnya.
Klaim-klaim tentang Gajah Mada tidak hanya datang dari kalangan awam. Teori-teori yang kurang ada dasarnya juga berasal dari ilmuwan.
Agus menuturkan, ilmuwan Belanda pernah punya teori Gajah Mada berselingkuh dengan Tribhuanottunggadewi, ibu Hayam Wuruk, raja yang mengantarkan Majapahit pada masa kejayaannya.
Teori itu didasari oleh besarnya kuasa Gajah Mada. Mahapatih itu disebut sebagai satu-satunya pejabat selain raja yang punya hak mendirikan candi.
Menyikapi Klaim
Agus menuturkan, klaim harus dibedakan dan ditelaah dasarnya secara ilmiah serta dilihat berdasarkan data-data arkeologi yang ada.
Ia mengatakan, sejarah dan arkeologi telah memiliki metode untuk mengungkap identitas kerajaan berdasarkan prasasti, karya sastra, hingga legenda.
"Kalau tidak memakai metode ilmiah, sulit dibandingkan," ungkap dosen yang menulis buku "Catuspatha: Arkeologi Majapahit" itu.
"Seperti orang Bandung yang saya temui dan mengatakan Gajah Mada dari Sunda, dia mengatakan mengetahui itu dengan metode wangsit. Saya tidak bisa membuktikan Gajah Mada berasal dari sana dengan wangsit," katanya.
Baca Juga: Meski Nyata, Koin Bertuliskan Arab Bukan Bukti Kesultanan Majapahit
Sejarawan dan Direktur Jenderal Kebudayaan, Hilman Farid, mengungkapkan, klaim-klaim harus disikapi secara kritis.
"Ini bukan soal penafsiran. Kalau buktinya sama lalu beda pandangan itu soal penafsiran. Tapi kalau seperti kasus Majapahit kasultanan itu bukan penafsiran karena satu pihak tidak punya bukti," katanya.
"Penulis buku Majapahit kasultanan itu sudah beda dengan peneliti. Penulis itu bekerja menurut keyakinan, peneliti bekerja berdasarkan keraguan. Ini sudah beda," imbuhnya.
Menurutnya, wacana Majapahit kasultanan sulit didiskusikan secara ilmiah sebab satu pihak tidak punya bukti arkeologi.
Ia mengajak publik untuk menaruh perhatian lebih besar pada masalah sejarah dan arkeologi yang nyata, seperti rusaknya cagar budaya.
Baca Juga: Ada Tulisan Arab pada Nisan, Bisakah Jadi Bukti Kesultanan Majapahit?