Xavier Symons, peneliti di University of Notre Dame Australia dan pakar bioetika di Austin Health's Human Research Ethics Committee, juga memiliki penilaian yang sama.
Dia berkata bahwa argumen tersebut tidak menunjukkan hubungan sebab-akibat yang jelas antara legalisasi eutanasia dan holocaust.
Baca Juga: Mengapa Manusia Melihat Cahaya Terang Saat Mendekati Kematian?
Tapi... Siapa Saja yang Berhak Memilih Mati?
Sebuah studi yang dipublikasikan dalam Canadian Medical Association Journal mengungkapkan, sejak dilegalkan di Belgia pada 2012, kasus euthanasia meningkat dari 235 pada tahun 2013 menjadi 1.807 pada tahun 2013.
Diberitakan Science Daily, 12 September 2016, peneliti juga menemukan peningkatan kasus eutanasia pada orang-orang yang tidak menderita kanker dan yang berusia di atas 80 tahun.
Lalu, walaupun tergolong kecil, penelitian juga menemukan adanya peningkatan kasus euthanasia pada orang-orang yang tidak memiliki penyakit serius dan yang memiliki kelainan psikitaris.
Salah satu kasus adalah yang terjadi pada Ron dan Patricia Fellows. Pasangan suami istri itu meminta di-eutanasia sebab umurnya telah mencapai 90 dan 81 tahun.
Jika berusia dan tidak memiliki penyakit serius, apakah seseorang berhak meminta di-eutanasia? Itu jadi perdebatan.
Di luar hukum Indonesia yang menolak eutanasia, Berlin Silalahi sendiri apakah berhak menerima eutanasia? Apa sebenarnya alasannya? Penyakit yang tak bisa diobati atau tak punya uang untuk membiayai pengobatan?
Jika alasan keputusasaan Berlin adalah ekonomi, maka hukum Belgia sendiri melarang eutanasia. Masalahnya, apa penyelesaian bagi Berlin?
Sementara banyak perdebatan eutanasia masih berlangsung, Kanada sudah membicarakan hal yang lebih maju: mencoba memanfaatkan organ dari orang yang di-eutanasia.
Marie-Chantal Fortin dari Universitas Montreal seperti dikutip National Post, 20 Maret 2017, mengatakan, donasi organ akan membuat pasien yang memilih eutanasia merasa berkontribusi untuk masyarakat lewat kematiannya.
Baca Juga: Apa Kata Hukum Indonesia tentang Eutanasia?