Melogika Eutanasia, Indonesia Melarang, Kok Belgia Melegalkannya?

Kompas.com - 07/05/2017, 15:44 WIB
Shierine Wangsa Wibawa

Penulis

Lalu, jika kasus tersebut tidak disebabkan oleh penyakit yang tidak tersembuhkan, persetujuan harus datang dari tiga dokter.

Baca Juga: Apa yang Terjadi Setelah Kematian?

Peter Singer, filsuf moral dari Australia, dalam siaran Big Ideas di Radio National mengatakan, eutanasia yang kerap disamakan dengan pembunuhan dan bunuh diri dari dilihat secara kritis.

Ia mengatakan, eutanasia dalam filosofi harus dimulai dari pertanyaan mendasar, “mengapa Anda tidak boleh membunuh orang lain?”

Menurutnya, ada 3 alasan tidak membunuh: orang yang ingin Anda bunuh masih ingin hidup, Anda tidak berhak merenggut kehidupan dan kebahagiannya, dan Anda membuat orang-orang yang mencintai orang itu menderita.

Namun, bagaimana ketika ada orang yang ingin mati? Singer mengatakan, jika kondisi itu yang terjadi, maka alasan pertama dan kedua menjadi tidak berlaku.

“Kalau kita bicara soal euthanasia sukarela, membantu orang tersebut mati justru menghormati permintaan dan keinginannya,” ujar Singer.

Dia melanjutkan, alasan kedua juga menjadi tidak berlaku karena orang yang hidupnya bahagia tidak akan meminta eutanasia.

Mereka memohon karena kualitas hidup mereka telah jatuh hingga ke titik yang sudah tidak bisa ditoleransi lagi. Mereka juga melihat bahwa kondisi tersebut tidak akan berubah.

Singer berkata bahwa alasan kedua ini dapat dipastikan dengan mengikuti sistem yang telah diaplikasikan oleh Belgia, yaitu dengan melibatkan persetujuan dua atau tiga dokter untuk memastikan bahwa penyakit atau penderitaan yang diderita pasien memang tidak tersembuhkan.

“Mungkin orang-orang yang masih mencintai pemohon eutanasia ini akan berduka jika pemohon meninggal, tetapi jika mereka memang mencintai orang tersebut, mereka pasti akan menghormati keinginannya dan tidak akan mau melihat orang tersebut menderita lebih lanjut,” ujarnya.

Salah satu argumen terkuat melawan legalisasi eutanasia sukarela adalah "efek lereng licin" yang menuju normalisasi eutanasia non-sukarela atau bahkan euthanasia paksa.

Pakar etika Nigel Biggar yang mengutip klaim profesor ilmu politik di University of Massachusetts Amherst, Peter Haas, mengenai euthanasia di era Nazi, mengungkapkannya demikian dalam buku "Aiming to Kill: The Ethics of Euthanasia and Assisted Suicide".

“Bukannya melihat Holocaust sebagai hasil dari pengaruh kejahatan yang misterus, Haas membacanya sebagai buah dari perubahahan kepekaan etika yang perlahan-lahan berubah di Jerman hingga akhirnya banyak orang merasa bahwa membunuh sekelompok manusia adalah sesuatu yang benar secara moral, karena mereka menganggap orang-orang tersebut jahat, tidak bernilai, atau membebani secara sosial,” demikian dinyatakan.

Argumen tersebut kemudian diulangi berkali-kali dalam setiap perdebatan eutanasia, termasuk oleh anggota parlemen Liberal Australia, Adrian Pederick, pada tahun 2016 lalu.

Padahal, menurut analisa John Burgess, rekan penelitian yang mengunjungi University of Wollongong dan Northwestern University, dalam Journal of Medical Ethics, argumen lereng licin yang melibatkan Nazi seperti yang diungkapkan oleh Biggar tidak logis.

Halaman:


Video Pilihan Video Lainnya >

Terpopuler

komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau