Ada “Peran” Kita di Balik Alasan Seseorang Bunuh Diri?

Kompas.com - 10/04/2017, 14:49 WIB
Palupi Annisa Auliani,
Amir Sodikin

Tim Redaksi

“Ah, itu kan Hannah saja yang lemah,” barangkali seperti itu suara di kepala kita bersuara. Atau, kilah seperti kata guru pembimbing dalam film ini yang muncul, “Kita tidak pernah tahu isi hati dan pikiran Hannah”? Sebagai bahan introspeksi, ungkapan retoris Clay bisa jadi renungan. “Bagaimana kalau sebenarnya kita tahu ada yang tidak beres tetapi tidak bertindak apa-apa sampai semua terlambat?”

Pernahkah kita menjadi orang yang dipercayai seseorang tetapi lalu “ngasal” atau normatif saja memberikan nasihat? “Sudahlah, move on saja...,” terdengar familiar, saran semacam ini ketika ada yang bercerita tentang perbuatan buruk orang kepadanya?

(Baca juga: Depresi, ke Mana Harus Curhat?)

Dalam 13 rekaman kaset suara Hannah dan muncul dalam adegan-adegan serial tersebut, sejumlah peristiwa yang terjadi bukanlah hal asing dalam keseharian kita.

Perundungan alias bullying menggunakan sebuah foto, jadi contoh pertama. Niatnya pun tak lebih dan tak kurang dari bercanda sekaligus menganggap enteng penyebaran foto pribadi.

Lalu, ada juga sosok playboy di sekolahan yang gampang menebar janji kepada anak-anak gadis orang, demi memenuhi hasrat puber.  Merenggut mahkota gadis-gadis atas nama cinta. Lalu enteng saja meremukkan hati sekaligus merusak pertemanan di antara para gadis.

Belum lagi, kebiasaan bergerombol karena merasa kuat atau unggul. Disusul “ketaatan” pada si bos demi tetap ada di kelompok. Lalu, “rasa kuat” ini menjadi pembenar untuk berlaku sesukanya pada orang lain yang tak sepopuler atau sealiran dengan mereka, sendirian pula.

IlustrasiSHUTTERSTOCK Ilustrasi

Terlepas dari judgement yang biasanya enteng saja diberikan pada orang lain, kalimat Hannah di kaset 13 bisa jadi perenungan tersendiri.

“Satu upaya lagi untuk memutuskan tetap hidup,” kata Hannah di awal rekaman kaset ke-13 itu. Dia memutuskan berusaha mencari pertolongan kepada orang-orang yang seharusnya memang ada untuk menolong.

Setelah ucapan itu, misalnya, adegan memperlihatkan Hannah mampir ke toko orangtuanya. Dialog dan kesibukan yang tergambar menjadi latar untuk suara lain Hannah, “Dan sepertinya sudah gagal mendapatkan alasan (hidup) di sini.”

Pada hari yang sama, Hannah menghadap pula guru pembimbing untuk konseling di sekolahnya. Percakapan panjang, penuh isyarat Hannah tentang hidup yang tak punya makna dan cerita tentang semua peristiwa yang menghancurkan dirinya di sana.

Namun, seperti tudingan Clay, bahkan orang-orang yang seharusnya punya kuasa untuk bertindak memilih jalan aman. Dan, hidup Hannah pun berakhir pada hari itu.

Pertanyaan-pertanyaan Clay pada guru pembimbingnya pada edisi 13 serial ini, barangkali juga pertanyaan yang seharusnya jadi cermin buat kita sehari-hari. Clay pun lalu menitipkan harap dalam kata-kata terakhirnya kepada sang guru.

“Semua harus bisa membaik. Cara kita memperlakukan dan menjaga satu sama lain itu harusnya lebih baik, apa pun caranya.”  

IlustrasiThinkstockphotos Ilustrasi
Baiklah. Serial ini memang hanya fiksi, rekaan. Namun, fakta mengungkap, 90 persen pelaku bunuh diri ditengarai mengalami masalah jiwa, dengan sebagian besarnya berupa depresi.

Lalu, sejumlah riset, pakar, dan artikel telah mengungkap beragam kesalahan respons yang sering diterima orang-orang kalut ini.

Halaman:


Video Pilihan Video Lainnya >

Terpopuler

komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau