KOMPAS.com - Belakangan ini saya lebih banyak kembali masuk ke komunitas gizi bermasalah, yang setelah diusut teryata duduk perkaranya menjadi amat sangat rumit. Mulai dari ‘mind set’ – meminjam istilah Bu Menkes – hingga berbagai peraturan, kebijakan, dan kompetensi.
Yang perlu dibenahi bukan hanya di pihak rakyat jelata yang selama ini dianggap abai dengan masalah gizi, tapi justru orang-orang yang diandaikan ‘lebih tahu tentang gizi’ dan yang menarik lagi : mereka yang ‘punya kepentingan di area gizi’.
Gerakan Masyarakat Hidup Sehat, yang disebut “Germas” sebenarnya tidak perlu ada andai saja sejak duduk di bangku kuliah para ahli gizi, dokter dan mereka yang pandai-pandai di bidang kesehatan dididik tentang manfaat sayur dan buah yang sesungguhnya.
Tentang mengapa tubuh ini kodratnya mesti bergerak. Tentang mengapa sebelum sakit, tubuh dibekali kokpit yang jauh lebih canggih ketimbang pesawat udara buatan negri adidaya.
Sayangnya, makan sayur dan buah, olah raga dan melakukan pengecekan kesehatan rutin akhirnya tinggal sebatas jargon. Yang mesti dideklarasikan, disosialisasikan, dicanangkan hingga butuh tanda tangan para pejabat daerah, tapi rakyat tetap melongo.
Meningkatkan asupan sayur dan buah sama sekali tak ada artinya jika aspek konsumsi lain yang merusak tidak ikut digusur. Contohnya pemakaian minyak goreng setiap kali memasak.
Sebutlah asupan rafinasi mulai dari berbagai jenis roti (yang disusupi beberapa lembar sayur) dan mi instan dibubuhi beberapa helai sawi yang akhirnya nampak seperti prosesi makan yang seremonial saja.
Lah, kalau begitu, apakah untuk hidup lebih sehat harus mengorbankan industri yang selama ini memberi begitu banyak pemasukan negara dan lapangan pekerjaan?
Bisa ya bisa tidak. Dikatakan ya, karena selama ini memang kita sudah kebablasan dalam banyak hal. Sebut saja pangan industri mengubah mind set pola asuh anak. Ibu tidak lagi sudi membuat bubur saring apalagi ‘susah payah’ meracik makanan sesuai kebutuhan balitanya – dengan konsep gizi seimbang.
Cukup membuka kardus berisi bubuk makanan bayi dan menyeduh dengan air panas yang juga keluar dari dispenser. Tak perlu menimba air dan merebusnya.
Namun demikian, di sisi industri sebetulnya tidak perlu khawatir tergusur, karena fakultas teknologi pangan masih berdiri. Dan jika cukup kreatif, negri ini banyak sekali sumber pangan prima yang bisa diolah dengan standar internasional dan membanjiri bursa ekspor pangan. Bukan malah untuk dijual dan dikonsumsi rakyat negri sendiri.
Nah, menjadi menarik jika timbul pertanyaan mengapa ekspor ‘pangan jadi’ kerap bermasalah dan dianggap tidak sesuai dengan kriteria internasional.
Bahkan, beberapa waktu yang lalu ada negara yang melarang produk mi instan Indonesia dengan merek yang sama untuk dijual di negara tersebut – karena ‘beberapa komposisi’ yang tidak diperkenankan masuk ke sana, hanya boleh diedarkan di Indonesia.
Padahal, di sini semua orang melahap mi instan tanpa menelisik daftar isi. Mengapa merek yang sama punya diskriminasi konsumen?
Dari sumber tambang hingga produk pangan, bangsa kita selalu dilecehkan jika ingin berdagang dalam rupa bentuk jadi alias telah diolah secara teknologi. Apakah teknologi kita masih jauh di bawah standar, ataukah hanya permainan tekan harga?