Sementara, pitamen berperan merancang tindakan agresif yang bisa muncul akibat cinta ataupun benci. Dalam konteks cinta, tindakan agresif bisa muncul ketika ada pesaing.
Persamaan tersebut menunjukkan bahwa cinta dan benci itu dekat. Manusia mudah berganti rasa dari benci menjadi cinta dan sebaliknya.
Harus seimbang
Pakar neurosains Indonesia, Taruna Ikrar, mengatakan bahwa manusia selalu memiliki dua sisi. Ada harapan, ada kecemasan. Ada keberanian, ada ketakutan. Ada cinta, ada pula benci. Kedua sisi harus seimbang.
"Tubuh dan otak kita punya mekanisme kompensasi yang senantiasa memosisikan manusia dalam kondisi seimbang, berupa rasionalitas. Kalau mekanisme ini tidak seimbang, outputnya adalah penyakit berbahaya," katanya.
Cinta yang berlebihan membuat manusia menjadi irasional, kurang memperhitungkan. Cinta itu tak memberdayakan tetapi malah merugikan. Begitu pula benci.
Kebencian terkait penurunan serotonin dan peningkatan kyuronic. Menurut Taruna, kebencian berlebihan bisa bersifat patologis.
"Dampak peningkatan serotonin dan kyuronic dalam jumlah besar adalah depresi, kecemasan, dan muncul pembelaan ego yang menyebabkan rasa kebencian semakin meningkat," jelas Taruna.
Kebencian memicu stres dan depresi sebab menurunkan level dopamin dan endorfin yang berefek melegakan dan membahagiakan.
Kepada Kompas.com, Senin (13/2/2017), Taruna mengungkapkan bahwa kebencian ekstrem bisa menimbulkan penyakit, mulai dari diare hingga ginjal dan penyakit degeneratif seperti parkinson.
Taruna mengungkapkan, sangat penting mengontrol cinta dan benci.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.