KOMPAS.com - Benci tapi cinta, perasaan yang membingungkan tetapi dialami banyak orang. Di satu sisi, Anda membenci, di sisi lain Anda merindukan.
Neurosains memberi pencerahan akan perasaan tersebut. Dua rasa itu memang berbeda, tetapi perbedaannya ternyata tipis.
Semir Zaki dari University College London menghabiskan lebih dari satu dekade untuk meneliti ekspresi cinta dan benci.
Dengan Magnetic Resonance Imaging (MRI), teknik pemindaian otak maju, Zaki melihat apa yang terjadi di otak saat manusia merasakan beragam cinta serta benci.
Kepada sukarelawan yang menjadi obyek studi, Zaki menunjukkan potret orang yang dibenci atau dicintai. Lantas ia memindai otak sukarelawan untuk mengetahui bagian yang bereaksi.
Zaki berhasil mengungkap reaksi otak saat manusia merasakan cinta erotis, cinta ibu, cinta tulus, serta rasa benci.
Persamaan dan perbedaan
Dari hasil studi yang dipublikasikan dalam 3 makalah terpisah di Neuro Report pada 2000, Neuro Image pada 2004 dan PLOS ONE pada 2008, Zaki menunjukkan bahwa cinta dan benci punya persamaan dan perbedaan.
Cinta erotis mengaktifkan bagian sistem penghargaan di otak yang kaya akan penerima rangsang hormon oksitosin dan vasopresin.
Pada saat yang sama, cinta erotis menonaktifkan bagian otak yang berkaitan dengan penilaian dan pembuatan alasan.
Sementara itu, benci mengaktifkan bagian yang kaya dengan penerima rangsang serotonin sehingga bisa memicu stres.
Bila saat merasa benci bagian penilaian otak banyak dinonaktifkan, maka saat merasa benci hanya sebagian kecil saja bagian tersebut yang dinonaktifkan.
"Dalam cinta erotis, orang yang dicintai kurang kritis dan menilai. Saat benci, si pembenci mungkin ingin lebih menilai, memperhitungkan bahaya, luka, dan aksi pembalasan," kata Zaki dalam publikasinya di PLOS ONE.
Meski demikian, cinta dan benci diketahui mengaktifkan dua bagian otak yang sama, insula dan pitamen. Inilah persamaan cinta dan benci.
Insula biasanya aktif saat ada stimulus yang menyusahkan atau memicu kegelisahan. Cinta dan benci, oleh insula, dianggap sebagai stimulus yang sama.
Sementara, pitamen berperan merancang tindakan agresif yang bisa muncul akibat cinta ataupun benci. Dalam konteks cinta, tindakan agresif bisa muncul ketika ada pesaing.
Persamaan tersebut menunjukkan bahwa cinta dan benci itu dekat. Manusia mudah berganti rasa dari benci menjadi cinta dan sebaliknya.
Harus seimbang
Pakar neurosains Indonesia, Taruna Ikrar, mengatakan bahwa manusia selalu memiliki dua sisi. Ada harapan, ada kecemasan. Ada keberanian, ada ketakutan. Ada cinta, ada pula benci. Kedua sisi harus seimbang.
"Tubuh dan otak kita punya mekanisme kompensasi yang senantiasa memosisikan manusia dalam kondisi seimbang, berupa rasionalitas. Kalau mekanisme ini tidak seimbang, outputnya adalah penyakit berbahaya," katanya.
Cinta yang berlebihan membuat manusia menjadi irasional, kurang memperhitungkan. Cinta itu tak memberdayakan tetapi malah merugikan. Begitu pula benci.
Kebencian terkait penurunan serotonin dan peningkatan kyuronic. Menurut Taruna, kebencian berlebihan bisa bersifat patologis.
"Dampak peningkatan serotonin dan kyuronic dalam jumlah besar adalah depresi, kecemasan, dan muncul pembelaan ego yang menyebabkan rasa kebencian semakin meningkat," jelas Taruna.
Kebencian memicu stres dan depresi sebab menurunkan level dopamin dan endorfin yang berefek melegakan dan membahagiakan.
Kepada Kompas.com, Senin (13/2/2017), Taruna mengungkapkan bahwa kebencian ekstrem bisa menimbulkan penyakit, mulai dari diare hingga ginjal dan penyakit degeneratif seperti parkinson.
Taruna mengungkapkan, sangat penting mengontrol cinta dan benci.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.