Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Mengapa Lebih Enak Jadi Korban?

Kompas.com - 08/02/2017, 09:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorBestari Kumala Dewi

Butuh waktu lama bagi sang musafir untuk menjelaskan duduk perkara perihal makna kontribusi dan istilah menjadi ‘berdaya’.

Transformasi sudut pandang korban begitu melekat erat pada diri manusia – bahkan komunitas – untuk sekian kurun waktu, sehingga muncul identitas baru sebagai golongan yang menganggap diri tertindas, baik oleh orang lain atau bila sudah tidak ada lagi yang bisa dipersalahkan, maka salahkan saja iklim, cuaca atau nasib.

Menanggung sakit atau kecacatan dari cara pandang korban adalah sesuatu yang tak bisa dihindari. Bahkan menuntut orang lain yang lebih “beruntung”, untuk punya kewajiban baru mengulurkan tangan.

Patut dikasihani, perlu diberi kemudahan, adalah motto para korban. Sama seperti menghindari pajak dan jika perlu semua serba gratis seakan warisan tabiat yang diam-diam ditanamkan oleh para penganut mentalitas korban kepada anak cucunya.

Dan bagai gayung bersambut, dimanfaatkan para pengincar kekuasaan dengan iming-iming hidup enak tanpa perlu kerja keras.

Juga bisa berobat gratis tanpa perlu hidup bersih dan punya gaya hidup sehat. Seakan-akan gaya hidup sehat hanya milik segelintir orang berduit.

 

Negeri kaya yang rakyatnya merasa miskin

Sangat ngeri membayangkan negeri kaya raya yang rakyatnya merasa sama sekali tidak berpunya. Bahkan merasa bangga dan beruntung diberi pelbagai kemudahan dan sumbangan, dianggap orang miskin, hidup berimpit di gang becek beratap bocor.

Padahal diam-diam anaknya punya motor bebek yang dipakai trek-trek-an di jalan raya sambil naksir cabe-cabean dari kampung sebelah.

Tak mau kalah aksi, di sudut bibir bertengger rokok putih tanpa peduli jika kanker paru menyerang – bapaknya setengah mati mengemis (lagi) berbagai kartu agar dibebaskan dari biaya berobat.

Lebih ngeri lagi membayangkan kegiatan gizi dan kampanye pangan sehat di pelosok kampung masih didanai makanan pabrikan yang punya kepentingan ekonomis politis.

Seakan-akan rakyat kampung terlalu miskin untuk bisa memprakarsai kegiatannya sendiri dan memberi anak-anaknya makan dari hasil tanahnya sendiri.

Semoga kita tidak membutuhkan seorang musafir yang kebetulan lewat dan mengajar makna kontribusi dan berbagi, yang datangnya bukan dari merasa diri miskin.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com