Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Mengapa Lebih Enak Jadi Korban?

Kompas.com - 08/02/2017, 09:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorBestari Kumala Dewi

KOMPAS.com - Salah satu menu di meja makan yang belakangan ini diprotes anak saya adalah sup ayam. Jangan salah, isinya bukan hanya ayam saja kok. Tapi seperti kebanyakan sup pada umumnya, semua warna ada di situ.

Mulai dari wortel, jamur kuping, seledri, kacang merah, jagung muda dan semua bahan yang tinggal sedikit di kulkas pasti masuk ke dalamnya.

Bumbu pun super gampang. Tinggal taburi parutan biji pala, garam dan lada, bereslah sudah.

Anak saya protes karena sup itu sudah terlalu sering muncul dalam sebulan. Tapi bagi saya selain rasanya enak, sebenarnya menu sederhana tersebut selalu mengingatkan pada dongeng masa kecil yang berjudul “Sup Batu”.

Alkisah di negri yang katanya amat miskin dan rakyatnya sulit mendapatkan pangan layak, datanglah seorang musafir bijak.

Ia sedih melihat tungku besar dengan periuk yang setengahnya berisi air dan anak-anak bermata cekung bertubuh kurus duduk tanpa baju di depan rumah masing-masing. Mereka sudah terlalu lelah mengemis dan sudah tak mampu lagi berjalan jauh.

Kemudian sang musafir bertanya kepada salah seorang tetua di dekatnya,”Mengapa periuk sebesar ini kosong dan hanya berisi air?”

Lalu dijawab,”Kami begitu miskin, sehingga tidak tahu lagi harus masak apa”. Sambil tersenyum musafir pendatang itu berseru, ”Ayooo ...kalau begitu kita memasak sup batu saja! Lihat ya, saya ambil dua batu ini.” Diceburkannyalah dua batu kecil ke dalam periuk berisi air yang sudah mendidih.

Setelah beberapa saat, ia mengambil sendok besar dan mengambil sedikit air dari periuk serta mencicipinya.

Ia tersenyum dan mengatakan rasanya sudah mulai enak. Namun ia berseru dengan lantang, ”Adakah yang punya beberapa wortel? Sup ini semakin nikmat dengan tambahan wortel!” Sambil tergopoh-gopoh seorang ibu menyerahkan seikat wortel merah yang langsung dibersihkan, dipotong-potong dan dimasukkan ke dalam periuk dengan wajah sumringah, ingin tahu apa yang akan terjadi.

Saat sang musafir mencicipi lagi “sup”nya, wajahnya semakin girang dan berkata, ”Ampun enaknya. Tapi ini akan jadi sup terlezat jika ada yang menambahkan kentang ke dalamnya.”

Seorang laki-laki tua tanpa banyak bicara menyerahkan setengah karung kentang sisa yang diyakini menjadi penyumbang kelezatan sup mereka.

Berturut-turut sesudah itu ada yang menambahkan tomat, daun bawang, hingga terakhir potongan ayam dari seorang saudagar yang diam-diam menonton keramaian di situ.

Hasilnya bisa ditebak. Sup ayam komplit sedap buatan musafir yang berhasil mengumpulkan para kontributor di desa tersebut.

Tapi anehnya mereka masih mempercayai dua butir batu kecil sebagai penyebab utama sup sensasional yang dinikmati penduduk desa itu.

Butuh waktu lama bagi sang musafir untuk menjelaskan duduk perkara perihal makna kontribusi dan istilah menjadi ‘berdaya’.

Transformasi sudut pandang korban begitu melekat erat pada diri manusia – bahkan komunitas – untuk sekian kurun waktu, sehingga muncul identitas baru sebagai golongan yang menganggap diri tertindas, baik oleh orang lain atau bila sudah tidak ada lagi yang bisa dipersalahkan, maka salahkan saja iklim, cuaca atau nasib.

Menanggung sakit atau kecacatan dari cara pandang korban adalah sesuatu yang tak bisa dihindari. Bahkan menuntut orang lain yang lebih “beruntung”, untuk punya kewajiban baru mengulurkan tangan.

Patut dikasihani, perlu diberi kemudahan, adalah motto para korban. Sama seperti menghindari pajak dan jika perlu semua serba gratis seakan warisan tabiat yang diam-diam ditanamkan oleh para penganut mentalitas korban kepada anak cucunya.

Dan bagai gayung bersambut, dimanfaatkan para pengincar kekuasaan dengan iming-iming hidup enak tanpa perlu kerja keras.

Juga bisa berobat gratis tanpa perlu hidup bersih dan punya gaya hidup sehat. Seakan-akan gaya hidup sehat hanya milik segelintir orang berduit.

 

Negeri kaya yang rakyatnya merasa miskin

Sangat ngeri membayangkan negeri kaya raya yang rakyatnya merasa sama sekali tidak berpunya. Bahkan merasa bangga dan beruntung diberi pelbagai kemudahan dan sumbangan, dianggap orang miskin, hidup berimpit di gang becek beratap bocor.

Padahal diam-diam anaknya punya motor bebek yang dipakai trek-trek-an di jalan raya sambil naksir cabe-cabean dari kampung sebelah.

Tak mau kalah aksi, di sudut bibir bertengger rokok putih tanpa peduli jika kanker paru menyerang – bapaknya setengah mati mengemis (lagi) berbagai kartu agar dibebaskan dari biaya berobat.

Lebih ngeri lagi membayangkan kegiatan gizi dan kampanye pangan sehat di pelosok kampung masih didanai makanan pabrikan yang punya kepentingan ekonomis politis.

Seakan-akan rakyat kampung terlalu miskin untuk bisa memprakarsai kegiatannya sendiri dan memberi anak-anaknya makan dari hasil tanahnya sendiri.

Semoga kita tidak membutuhkan seorang musafir yang kebetulan lewat dan mengajar makna kontribusi dan berbagi, yang datangnya bukan dari merasa diri miskin.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com