Belajar dari Mentawai, Mewaspadai Tsunami yang “Senyap”

Kompas.com - 26/10/2016, 10:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata

Kurangnya ketersediaan stasiun pasang surut atau perangkat observasi gelombang tsunami di pulau-pulau kecil atau terluar di Indonesia secara umum menyebabkan bencana besar ini baru diketahui esok harinya.

Untuk kondisi ini, keberadaan perangkat pasang surut yang berada pada jarak yang jauh dari pusat gempa atau perangkat monitoring gelombang tsunami yang berada di lepas pantai seperti perangkat buoy barangkali tidak akan bisa merepresentasikan ketinggian gelombang tsunami yang mungkin terjadi di lokasi yang terletak dekat dengan pusat gempa.

Untuk itu, perangkat monitoring gelombang tsunami dibutuhkan tidak hanya di lepas pantai tetapi juga di kawasan pantai di sepanjang gugus pulau di Indonesia agar karakteristik lokal dari gelombang tsunami dapat terpantau, sehingga informasi akurat dapat disampaikan kepada masyarakat sebelum tsunami datang.

Tsunami yang menyapu pesisir pulau-pulau Indonesia tidak hanya terjadi pada kasus Mentawai 2010. Jauh sebelumnya, tahun 1992 tsunami juga pernah menyapu habis Pulau Babi di lepas pantai Pulau Flores mengakibatkan 700 dari total 1,093 jiwa penduduk pulau tersebut tewas.

Belum lagi rekaman peristiwa-peristiwa lain di Indonesia timur dimana tsunami pernah menghantam pulau-pulau kecil di Maluku bahkan dengan ketinggian lebih dari 50 m.

Prof. Shuto dari Tohoku University, Jepang pernah mengatakan tidak ada satu sistem peringatan dini tsunami manapun di dunia yang mampu memprediksi secara akurat estimasi tinggi tsunami untuk kasus tsunami-earthquake.

Untuk itu, keberadaan perangkat monitoring gelombang tsunami sangat penting agar karakteristik lokal dari gelombang tsunami dapat terpantau dengan baik.

Tidak hanya untuk meningkatkan akurasi peringatan dini tsunami, tetapi juga untuk menentukan waktu dan keputusan yang tepat kapan suatu peringatan dini tsunami harus dihentikan, agar di masa depan tidak ada lagi peringatan yang dihentikan justru pada saat tsunami sedang meluluhlantakkan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia.

Mitigasi Tsunami di Pulau-Pulau Kecil

Agar negara benar-benar bisa hadir dalam memberikan rasa aman kepada segenap masyarakat seperti yang diamanatkan oleh poin pertama konsep Nawa Cita, mitigasi bencana yang terintegrasi dalam konsepsi pembangunan berkelanjutan mutlak sangat dibutuhkan.

Upaya penanggulangan bencana di pulau-pulau kecil mungkin tidak sama dengan penanganan bencana di pulau utama pada umumnya.

Perlu diketahui bahwa mayoritas penduduk pulau-pulau kecil berada dalam kondisi taraf ekonomi menengah ke bawah. Selain itu, infrastruktur dasar penunjang aktivitas ekonomi umumnya dan tanggap darurat pada saat bencana khususnya juga terbatas.

Untuk kasus tsunami Mentawai contohnya, lokasi pengungsi di beberapa desa di Pulau Pagai Selatan terisolir dan tidak memiliki sumber air bersih dan listrik bahkan sampai beberapa bulan paska tsunami.

Akses transportasi untuk keperluan logistik yang mengandalkan moda transportasi laut juga sangat rentan dihantam oleh tsunami sehingga bisa menghambat proses pemulihan kawasan dan ekonomi paska bencana.

Inisiatif-inisiatif peningkatan kapasitas masyarakat dalam menghadapi bencana harus dilakukan secara terintegrasi dengan program pembangunan dan pengembangan pulau-pulau kecil.

Halaman:


Video Pilihan Video Lainnya >

komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau