Belajar dari Mentawai, Mewaspadai Tsunami yang “Senyap”

Kompas.com - 26/10/2016, 10:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata

Lalu kenapa gempa mengayun yang terjadi di Mentawai bisa disusul oleh tsunami sangat besar?

Gempa dan tsunami di Mentawai diklasifikan sama dengan yang terjadi di Pangandaran tahun 2006 yakni yang disebut dengan tsunami-earthquake.

Gempa ini terjadi di lokasi sangat dekat dengan batas pertemuan lempeng benua dengan lempeng samudera dan episenternya biasanya sangat dangkal, sekitar 10km, sehingga lapisan sedimen lunak bisa terdeformasi sangat tinggi.

Akan tetapi, proses pelepasan energi gempa ini tidak terjadi serta merta seperti halnya gempa biasa yang cuma memakan waktu kurang dari 20 detik.

Untuk kasus gempa Mentawai, pelepasan energi gempa memakan waktu sampai 240 detik atau 4 menit sehingga faktor ini (selain faktor sedimen lunak di dekat batas pertemuan lempeng) membuat goncangan gempa tidak terlalu dirasakan oleh masyarakat di pesisir, meskipun mengakibatkan dislokasi segmen lempeng sangat besar.

Riset yang dilakukan oleh penulis bersama-sama dengan peneliti dari Amerika yang dipublikasikan dalam Yue, dkk. (2014) menyebutkan bahwa dislokasi yang terjadi akibat pelepasan energi gempa mencapai 24m sehingga terjadi deformasi vertikal dasar laut hingga 5.6 meter.

Yue dkk Distribusi dislokasi, deformasi, penjalaran tsunami dan tinggi tsunami maksimum akibat gempa Mentawai 2010
Inilah yang membedakan karakteristik tsunami-earthquake dengan gempa biasa. Pada gempa biasa dengan kekuatan yang sama, dislokasi dasar laut tidak sebesar yang terjadi pada kasus tsunami-earthquake sehingga tsunami yang dihasilkanpun tidak sebesar pada kasus tsunami-earthquake. 

Survei yang dilakukan oleh peneliti dari dalam dan luar negeri menyatakan bahwa tsunami yang terjadi berkisar antara 2m sampai 14m dengan penetrasi tsunami ke darat rata-rata 300 – 800 m.

Peringatan Dini Tsunami

Kejadian tsunami Mentawai memunculkan isu yang sangat penting dalam kesiapsiagaan terhadap tsunami yakni masalah peringatan dini.

Pada saat itu, BMKG dengan sangat baik telah melakukan diseminasi informasi gempa dalam waktu 4 menit setelah gempa, akan tetapi tidak semua masyarakat bisa mengakses informasi tersebut.

Informasi potensi tsunami yang di-broadcast melalui 4 stasiun televisi swasta ternyata tidak memancing insiatif masyarakat untuk evakuasi karena guncangan gempa tidak terlalu kuat.

Peringatan dini tsunami ini kemudian dihentikan oleh BMKG setelah melihat data bahwa tinggi gelombang tsunami yang tercatat di stasiun pasang surut di Pulau Enggano (berjarak 330 km dari pusat gempa) dan Tanah Bala (Nias Selatan, berjarak 370 km dari pusat gempa) masing-masing hanya 27 cm dan 22 cm.

Akan tetapi, keputusan menghentikan tsunami warning berdasarkan informasi dari dua stasiun di atas ternyata tidak merepresentasikan kondisi yang terjadi di daerah dekat pusat gempa.

Akibat variasi deformasi dasar laut yang beragam, tinggi tsunami di Pulau Pagai Selatan mencapai 14 meter. Tsunami besar di Mentawai ini awalnya tidak diketahui oleh pemerintah pusat bahkan oleh pemerintah Kabupaten Mentawai sendiri.

Halaman:


Video Pilihan Video Lainnya >

komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau