Belajar dari Mentawai, Mewaspadai Tsunami yang “Senyap”

Kompas.com - 26/10/2016, 10:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata

Oleh: Abdul Muhari, PhD

Senin, 25 Oktober 2010, gempa yang menurut lembaga survei geologi Amerika (USGS) memiliki kekuatan M7.7 mengguncang sebagian besar kawasan pantai Sumatra Barat sampai Bengkulu.

Gempa ini membangkitkan tsunami yang menyapu lebih dari dua puluh desa di Kepulauan Mentawai dan menyebabkan jatuhnya korban tidak kurang dari 448 jiwa dengan sekitar 100 orang lainnya dinyatakan hilang.

Kejadian tsunami Mentawai bisa dikatakan merupakan babak baru pada pemahaman tsunami di Indonesia. Bagaimana tidak, pada kejadian ini mata kita terbuka bahwa perangkat peringatan dini tsunami kita belum bisa menjangkau keseluruhan masyarakat terutama yang berada di pulau-pulau kecil.

Lebih ironis lagi, tsunami benar-benar menerjang justru setelah peringatan dini tsunami sudah dihentikan. Tsunami yang datang waktu itu menghantam Kepulauan Mentawai dengan ketinggian mencapai 12 m.

Keadaan bertambah buruk karena cuaca buruk kemudian menghalangi proses pengiriman tim rescue dan logistik sehingga bantuan pertama sampai di Mentawai 2 hari setelah bencana.

Rangkaian kejadian tsunami Mentawai memberikan pelajaran penting bahwa bencana dapat berdampak sangat buruk jika terjadi atau menghantam kawasan pulau-pulau kecil Indonesia.

Kurangnya akses terhadap peringatan dini, ketiadaan perangkat pendukung evakuasi mandiri, minimnya edukasi bencana, sampai risiko terisolir setelah bencana akibat putusnya akses transportasi atau gangguan cuaca buruk bisa berujung pada bertambahnya korban jiwa serta menghambat proses pemulihan paska-bencana.

Tsunami ‘Senyap’ di Mentawai

Segmen Mentawai memiliki catatan panjang terhadap gempa dan tsunami. Tahun 1797 bagian utara segmen ini diguncang gempa dan membangkitkan tsunami, yang menurut catatan Soloview dan Go (1974), merendam Kota Padang dan mengakibatkan 300 orang tewas,  sementara tsunami yang melewati sungai membawa kapal sampai 5.5 km ke arah darat.

Berikutnya tahun 1833 gempa besar dan tsunami kembali terjadi di bagian tengah dan selatan segmen Mentawai.

Perulangan dua kejadian gempa besar dan tsunami inilah yang saat ini dipercaya terjadi, diawali oleh kejadian gempa Bengkulu tahun 2007 dan kemudian Mentawai tahun 2010.

Yue dkk Pembangkitan tsunami akibat gempa
25 Oktober 2010, empat menit lima puluh detik setelah terjadi gempa dan dideteksi oleh Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), informasi gempa didiseminasikan melalui pesan singkat (SMS) yang kemudian di-broadcast melalui empat stasiun televisi swasta 13 menit setelah gempa.

Akan tetapi, gempa yang terjadi memiliki karakteristik yang unik. Guncangan gempa tidak terlalu terasa alias “senyap”sehingga masyarakat tidak berfikir bahwa gempa akan disusul oleh tsunami.

Masyarakat mengira hanya gempa besar lah yang memunculkan tsunami. Asumsi ini didasari oleh pengalaman tahun 2007 pada saat gempa di lepas Pantai Bengkulu di mana guncangan gempa dirasa sangat kuat oleh masyarakat termasuk di Kepulauan Mentawai dan kemudian disusul oleh tsunami.

Halaman:


Video Pilihan Video Lainnya >

komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau