Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Studi "Antropologi Tobat" Mengungkap Kisah di Balik Insafnya Para Ekstremis Islam

Kompas.com - 15/02/2016, 10:03 WIB
Yunanto Wiji Utomo

Penulis

Abas misalnya, terdorong untuk bertobat karena punya ketidaksetujuan dengan Abu Bakar Baasyir pimpinannya.

Sementara Mataharitimoer terdorong bertobat karena faktor pemimpin dan perubahan lingkungan. Dalam arti, Soeharto yang saat itu menjadi "Firaun" jatuh.

Jafar Laskar Jihad yang diwawancara terdorong bertobat karena faktor fatwa.

Di luar hal-hal yang penting itu, mantan-mantan ekstremis yang diwawancara juga bisa bertobat karena masalah personal, seperti kerinduan untuk memiliki kehidupan normal, kangen keluarga, keinginan punya anak, dan lainnya.

"Psychological affection dan the power of love kadang dominan," kata Suratno.

Beragam faktor pendorong dan penarik itu hanya salah satu yang penyebab pertobatan. Tepatnya, hanya faktor yang membuat seorang ekstremis memisahkan diri dari grupnya.

Untuk sampai tahap bertobat yang sebenarnya, proses deradikalisasi yang dilakukan oleh pihak lain berperan.

Deradikalisasi nyatanya tak harus dilakukan dengan pemaksaan tetapi bisa dengan cara yang persuasif.

"Abas potensi individu untuk bertobat karena kecewa dari Baasyir itu disengagement-nya. Tapi deradikalisasinya karena tersentuh setelah diinterogasi Kolonel Bekto Prasetyo yang Katolik tapi lemah lembut," ungkap Suratno.

Suratno mengungkapkan, hasil penelitian menunjukkan bahwa riset pemahaman pada individu atau grup ekstremis penting dalam mengupayakan deradikalisasi.

Selama ini proses deradikalisasi banyak dianggap proyek saja. "Tidak berbasis riset dan tidak melihat kondisi dan kebutuhan pelaku ekstremis," jelasnya.

Hal lain yang bisa menjadi masukan adalah adanya pendekatan psikologis pada ekstremis.

"Ekstremis setelah dipenjara atau kembali ke masyarakat harus ada pendekatan psikologis dan cinta. Deradikalisasi program dan lainnya itu next step. Selama ini yang ada terbalik, " imbuh Suratno yang berhasil meraih cum laude dalam disertasinya.

Hasil penelitian juga mengungkap hal yang perlu dilakukan untuk men cegah seseorang masuk dalam gerakan ekstrem.

Pendidikan untuk berpikir kritis penting. Rata-rata ekstremis berpikiran sempit.

Wawasan agama sejak kecil juga penting. "New born muslim ketika dewasa kalau ketemu ekstremis bahaya," kata Suratno.

Tantangannya kemudian adalah bagaimana pendidikan mampu mengajak murid berpikir kritis. Untuk pendidikan agama, tantangannya adalah mengajak murid belajar agama dengan kritis, bukan sekadar mengajari beribadah.


Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com