Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Studi "Antropologi Tobat" Mengungkap Kisah di Balik Insafnya Para Ekstremis Islam

Kompas.com - 15/02/2016, 10:03 WIB
Yunanto Wiji Utomo

Penulis

KOMPAS.com - Sebuah studi berhasil mengungkap kisah di balik pertobatan ekstremis-ekstremis Islam.

Suratno, pengajar di Universitas Paramadina, yang melakukan riset menyebut bidang penelitiannya sebagai "antropologi tobat".

Hasil riset bisa memberi masukan dalam melakukan deradikalisasi.

Dalam penelitian, Suratno melakukan wawancara mendalam dengan mantan-mantan ekstremis Islam di Indonesia.

Mereka diantaranya adalah Nasir Abas Ali Imron dari Jamaah Islamiyah, Mataharitimoer dari Negara Islam Indonesia, dan Jafar Thalib dari Laskar Jihad. Total ada 10 orang yang diwawancara.

Suratno menjelaskan, orang-orang yang mengikuti gerakan ekstrem ada kalanya labil.

Menurut antropolog Arnold van Gennep (1960) dan Victor Turner (1969), labilnya para ekstremis itu disebut "liminal".

Tahapan liminal sederhananya mirip dengan proses akil baligh manusia, proses ambigu antara anak dan dewasa dengan beragam perubahannya.

Fase liminal bisa mengubah seorang ekstremis menjadi lebih ekstrem ataupun kemudian insaf.

Suratno dalam penelitian yang digunakan sebagai disertasi doktoralnya di Frankfurt am Main, Jerman, meneliti alasan di balik pertobatan para ekstremis.

Antropologi tobat dengan demikian bisa didefinisikan secara sederhana sebagai sesuatu atau proses yang mendorong pertobatan.

Hasil penelitian mengungkap, proses masuknya seseorang dalam gerakan ekstrem dapat memengaruhi pertobatan.

"Kalau awalnya dari ajakan teman misalnya, nanti dalam proses liminal ada ruang untuk tobat," kata Suratno kepada Kompas.com, Minggu (14/2/2015).

Secara umum ada faktor pendorong dan penarik yang memicu seseorang untuk bertobat.

Faktor pendorong misalnya ada ketidaksetujuan dengan pemimpin, kurang nyaman melihat tindakan brutal grup, dan perubahan ideologi.

Abas misalnya, terdorong untuk bertobat karena punya ketidaksetujuan dengan Abu Bakar Baasyir pimpinannya.

Sementara Mataharitimoer terdorong bertobat karena faktor pemimpin dan perubahan lingkungan. Dalam arti, Soeharto yang saat itu menjadi "Firaun" jatuh.

Jafar Laskar Jihad yang diwawancara terdorong bertobat karena faktor fatwa.

Di luar hal-hal yang penting itu, mantan-mantan ekstremis yang diwawancara juga bisa bertobat karena masalah personal, seperti kerinduan untuk memiliki kehidupan normal, kangen keluarga, keinginan punya anak, dan lainnya.

"Psychological affection dan the power of love kadang dominan," kata Suratno.

Beragam faktor pendorong dan penarik itu hanya salah satu yang penyebab pertobatan. Tepatnya, hanya faktor yang membuat seorang ekstremis memisahkan diri dari grupnya.

Untuk sampai tahap bertobat yang sebenarnya, proses deradikalisasi yang dilakukan oleh pihak lain berperan.

Deradikalisasi nyatanya tak harus dilakukan dengan pemaksaan tetapi bisa dengan cara yang persuasif.

"Abas potensi individu untuk bertobat karena kecewa dari Baasyir itu disengagement-nya. Tapi deradikalisasinya karena tersentuh setelah diinterogasi Kolonel Bekto Prasetyo yang Katolik tapi lemah lembut," ungkap Suratno.

Suratno mengungkapkan, hasil penelitian menunjukkan bahwa riset pemahaman pada individu atau grup ekstremis penting dalam mengupayakan deradikalisasi.

Selama ini proses deradikalisasi banyak dianggap proyek saja. "Tidak berbasis riset dan tidak melihat kondisi dan kebutuhan pelaku ekstremis," jelasnya.

Hal lain yang bisa menjadi masukan adalah adanya pendekatan psikologis pada ekstremis.

"Ekstremis setelah dipenjara atau kembali ke masyarakat harus ada pendekatan psikologis dan cinta. Deradikalisasi program dan lainnya itu next step. Selama ini yang ada terbalik, " imbuh Suratno yang berhasil meraih cum laude dalam disertasinya.

Hasil penelitian juga mengungkap hal yang perlu dilakukan untuk men cegah seseorang masuk dalam gerakan ekstrem.

Pendidikan untuk berpikir kritis penting. Rata-rata ekstremis berpikiran sempit.

Wawasan agama sejak kecil juga penting. "New born muslim ketika dewasa kalau ketemu ekstremis bahaya," kata Suratno.

Tantangannya kemudian adalah bagaimana pendidikan mampu mengajak murid berpikir kritis. Untuk pendidikan agama, tantangannya adalah mengajak murid belajar agama dengan kritis, bukan sekadar mengajari beribadah.


Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com