Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Mahasiswa Indonesia Terlibat Penemuan Tikus Hidung Babi

Kompas.com - 26/10/2015, 18:07 WIB
KOMPAS.com — Heru Handika, mahasiswa asal Indonesia yang sedang melanjutkan pendidikan S-2 di Universitas Melbourne, merupakan salah satu peneliti yang tergabung dalam tim internasional yang menemukan tikus hidung babi di Sulawesi. Tikus itu sekarang dikukuhkan sebagai genus baru, bukan sekadar spesies baru.

Berikut keterangan Heru Handika dalam percakapan dengan wartawan ABC, L Sastra Wijaya, mengenai kegiatannya di Australia dan keterlibatannya dengan tim internasional, termasuk dari Australia, dalam penemuan tikus hidung babi. 

Heru:

Saya menyelesaikan pendidikan S-1 di jurusan Biologi di Fakultas MIPA di Universitas Andalas, Padang, dan kemudian mendapatkan beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) untuk kuliah Master of Science (Zoology) di University of Melbourne, Australia. Penelitian saya dilaksanakan di Museum Victoria di bawah bimbingan Dr Kevin Rowe (senior kurator Museum Victoria). Saya akan di Australia sampai dua tahun ke depan.

Saya sudah mengenal Dr Kevin sejak tahun 2012, ketika saya masih di ujung kuliah S-1. Kami pertama kali bertemu di Sulawesi, yang merupakan awal saya meneliti di Sulawesi, kemudian saya mendapat tawaran untuk kuliah di Melbourne. Bidang yang saya tekuni saat ini mengenai evolusi dan persebaran spesies tikus di Sulawesi. Namun, saya sebelumnya juga banyak melakukan penelitian di Sumatera, Jawa, sedikit bagian Kalimantan, dan juga di Filipina.

Bagaimana cerita keterlibatan Anda dengan penemuan genus baru tikus di Sulawesi tersebut?

Ini adalah penelitian kedua saya bersama dengan Dr Jacob Esselstyn (Lousiana State University (AS), Kevin (Museum Victoria), dan Anang S Achmadi (LIPI Indonesia). Saya, Jake (panggilan Dr Jacob), dan Kevin merupakan orang yang pergi untuk survei lokasi tempat penemuan tikus hidung babi tersebut. Waktu itu masyarakat lokal berusaha meyakinkan kami di lokasi tersebut tidak ada air. Akhirnya, kami memutuskan untuk menyurvei dulu ke atas. Kami menuju lokasi dengan perlengkapan seadanya, hanya untuk memastikan lokasi tersebut terdapat berbagai kamp sehingga tim lainnya bisa menyusul dan membawa semua peralatan yang dibutuhkan.

Selain itu, saya juga terlibat dalam penulisan publikasi jurnal ilmiahnya. Ini merupakan bukti valid bahwa jenis tersebut memang genus (sekaligus spesies) baru, sedangkan tikusnya memang didapatkan oleh Jake dan Kevin. Sedikit mengklarifikasi, kami memang membagi tugas. Jake dan Kevin biasanya bertugas dalam pemasangan perangkap tikus, sedangkan saya dan Pak Anang bertugas dalam pemasangan perangkap cecurut. Jadi, memang Jake dan Kevin berpeluang lebih besar untuk mendapatkan tikus. Namun, secara umum peran kami sama di dalam tim.

Berapa lama Anda di sana dan siapa saja yang terlibat dalam pencarian tersebut?

Total sekitar tiga minggu kami berada di hutan yang jauh dari kampung. Jika dihitung dengan urusan administrasi, maka lebih dari satu bulan. Selain Dr Jacob, Dr Kevin, dan Pak Anang, sebenarnya penelitian ini juga diikuti oleh peneliti burung dari Museum Victoria, dan LIPI, juga ada peneliti mamalia dari University of California, Barkeley. Namun, peneliti mamalia ini tidak terlibat langsung dalam penemuan tikus hidung babi itu. Selain itu, kami juga dibantu oleh masyarakat lokal dan seorang pencinta alam dari Kolaka, Sulawesi Tenggara.

Apakah Anda mendaftar sendiri ataukah memang sejak dulu sudah tertarik dengan kegiatan alam ini karena Anda pernah menulis bahwa Anda dulu ingin menjadi ahli IT?

Sebenarnya, cerita ini berawal sejak saya tahun kedua kuliah S-1. Waktu itu, saya sudah tertarik dengan tikus. Namun, di kampus saya, tidak ada dosen yang meneliti tikus. Akhirnya, saya mengirim e-mail secara random ke banyak ahli tikus di dunia. Sebagian besar e-mail tersebut tidak dibalas. Di antara yang membalas, Dr Jacob Esselstyn (penulis pertama di publikasi Hog-Nose Rat), yang paling serius menanggapi pertanyaan saya mengenai tikus. Mungkin karena saya bertanya terus, setelah dua tahun terus berkomunikasi dengan e-mail dengan dia, akhirnya saya diajak untuk ikut penelitian bersama ke Sulawesi.

Penelitian pertama yang saya ikuti ke Gunung Gandang Dewata, Sulawesi Barat. Waktu itu, Dr Jacob, Dr Kevin, dan Pak Anang (LIPI) sudah bekerja sama sejak awal untuk penelitian di Sulawesi. Pada saat penelitian inilah, saya bertemu untuk pertama kalinya dengan Dr Kevin, yang kemudian menjadi pembimbing master saya.

Mungkin karena Jake senang dengan saya, dia mengajak saya untuk ikut kembali. Pada penelitian kedua inilah, kami menemukan tikus genus baru (Hog-Nose Rat) atau nama ilmiahnya, Hyorhinomys stuempkei.

Sejak pertama kali diajak penelitian tersebut, Jake memang selalu mengajak saya untuk penelitian di Sulawesi. Sebelumnya tim mereka tiga orang, yaitu Dr Jake, Dr Kevin, dan Pak Anang. Namun, saya menjadi bagian penuh dalam tim dan menjadi yang termuda di tim tersebut. Kami bersama-sama berusaha mengkaji evolusi dan distribusi tikus di Indonesia. Kajian ini penting untuk memahami sejarah kepulauan di Indonesia dan juga dalam mengonservasi keanekaragaman Indonesia secara umum karena keberadaan tikus bisa menentukan keunikan suatu tempat.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com