Menalar Sadomasokisme dalam Demam "Fifty Shades of Grey"

Kompas.com - 08/03/2015, 20:39 WIB

"Jelas itu menyimpang," kata psikolog dan seksolog Wimpie Pangkahila kepada Kompas.com, Minggu (8/3/2015). "Mencapai kepuasan lewat kekerasan itu menyimpang. Parafilia," imbuh dokter yang banyak memberikan konsultasi tentang seks tersebut.

Wimpie mendeskripsikan, "Seorang sadomasokis adalah mereka yang secara fisik dewasa namun secara psikoseksual masih anak-anak." Itu terjadi sebab terhambatnya perkembangan seksual.

Tahap perkembangan seksual, menurut Wimpie, bisa diklasifikasikan menjadi tiga. Pertama mengenal kenikmatan lewat oral, kemudian otot, dan terakhir genital. "Sadomasokis itu masih sampai pada otot," jelasnya.

Psikolog Universitas Diponegoro, Hastaning Sakti, menuturkan, perilaku bisa dipicu oleh trauma masa kecil. "Pernah diperlakukan kasar sehingga menganggap memperlakukan orang secara kasar dianggap wajar, termasuk dalam seks. Tapi, ini tidak selalu," katanya.

Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) I pada tahun 1952 menyatakan bahwa BDSM adalah penyimpangan. DSM II pada tahun 1968 menyatakan hal yang sama untuk masokisme.

DSM IV yang terbit pada tahun 1994 menyatakan bahwa BDSM adalah "psychiatric disorder". Sementara, DSM V yang terbit pada tahun 2013 menyatakab bahwa BDSM hanya tergolong sebagai gangguan psikologis jika menyebabkan tekanan pada diri sendiri dan orang lain.

Jadi, menurut Hastaning, jika ekspresi BDSM dijalankan oleh dua pihak yang saling menyetujui tanpa melibatkan orang lain yang keberatan, maka perilaku itu menjadi wajar untuk kalangan tersebut.

Gambaran ekspresi BDSM dengan persetujuan itulah yang tak banyak ditangkap. Novel "Fifty Shades of Grey" menggambarkan bahwa seseorang tidak bisa melakukan tindak sadomasokisme pada orang lain tanpa persetujuan. Novel itu malah menggambarkan adanya kontrak.

Antropolog dan Kepala Pusat Kajian Gender dan Seksualitas di Universitas Indonesia, Irwan M Hidayana, mengungkapkan bahwa perjalanan panjang BDSM sebagai ekspresi seksual yang diangga menyimpang dan menjijikkan tak lepas dari relasi seks dan kekuasaan.

"Kita menganggap seks ada yang normal dan tidak normal itu kan terkait dengan kultur tempat kita tumbuh," ungkapnya ketika ditemui Kompas.com pada Jumat (6/3/2015) yang lalu.

Sebagai contoh, dalam kultur abad 19, masturbasi dianggap sebagai penyakit. Kalangan medis ikut menjustifikasinya kala itu. Namun saat ini, masturbasi dianggap sebagai ekspresi seksual yang biasa.

Irwan mengungkapkan bahwa setiap manusia sebagai sexual being sebenarnya memiliki fantasi. "Ketika kita berbicara fantasi, bagaimana kita bisa mengatakan bahwa fantasi itu normal dan tidak normal," jelasnya.

Faktor budaya sebagai cermin adanya kekuasaan yang mengontrol seksualitas manusia yang kemudian juga memengaruhi keberanian untuk mengekspresikannya. "Beberapa mungkin berani saja tetapi banyak yang tidak," kata Irwan.

Irwan memandang BDSM sebagai salah satu fantasi manusia. Sebagai fantasi, maka BDSM tidak bisa dikatakan normal atau tidak, apalagi dinyatakan sebagai sebuah penyakit mental atau penyimpangan psikologis.

Bila fantasi BDSM dianggap bukan masalah, apakah manusia berhak mengekspresikannya? "Itu kembali lagi ke pihak yang terlibat, apakah ada pemaksaan, bahaya, tekanan. Jika tidak pada dasarnya tidak masalah," kata Irwan.

Meski demikian, Irwan mengungkapkan bahwa seks identik dengan kenikmatan sekaligus bahaya atau rasa sakit. Dengan demikian, dalam ekspresi seks, individu harus benar-benar memahami konsekuensi dari apa yang dilakukannya.

Ayu Utami, penulis yang banyak mengksplorasi tema seks dan spiritualitas, mengatakan bahwa dari BDSM, sebenarnya manusia belajar satu hal. "BDSM itu menyimpan ambiguitas. Kita tidak suka, tetapi menikmati," katanya.

Anehkah bila ada manusia memperoleh kenikmatan seks dari rasa sakit? Mungkin. "Tapi kita harus terima bahwa seks itu memang irasional. Seks itu tidak ada yang benar. Semua nafsu itu aneh," imbuhnya.

Saat ini, praktik BDSM sendiri berlangsung di Indonesia. Internet memungkinkan pertemuan penggemar BDSM. Ekspresi BDSM muncul dalam bentuk cerita pendek erotis yang dibuat oleh orang-orang yang antuasias BDSM. Apakah ekspresi itu harus direpresi?

Ayu mengungkapkan bahwa setiap fantasi dan ekspresi seks seharusnya diakui, bukan ditolak atau ditekan. "Fantasi seks harus dibiarkan dalam red district, kalau nggak boleh malah menyebar ke kehidupan sehari-hari. Itu malah bahaya," ungkapnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:


Video Pilihan Video Lainnya >

komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau