Menalar Sadomasokisme dalam Demam "Fifty Shades of Grey"

Kompas.com - 08/03/2015, 20:39 WIB

KOMPAS.com - Selain The Imitation Game dan Birdman yang memenangkan Oscar serta King's Man yang baru saja dirilis di Indonesia, ada satu film yang begitu menyita banyak perhatian publik, yaitu Fifty Shades of Grey.

Film yang diadaptasi dari novel erotis pertama dari trilogi Fifty Shades of Grey-Fifty Shades of Darker-Fifty Shades of Freed karangan EL James ramai dibicarakan karena tema yang diusungnya, Bondage Dominance Sadomasochism (BDSM).

BDSM secara sederhana mencakup ekspresi seksual yang melibatkan permaian peran budak dan penguasa, menggunakan peralatan seperti tali dan borgol untuk menunjang penguasaan, dan melibatkan kekerasan sebagai cara untuk meraih kepuasan seksual.

Rilis global 14 Februari 2015, tepat pada hari Valentine, Fifty Shades of Grey memicu perdebatan tentang perilaku BDSM baik di kalangan publik awam maupun para akademisi dan peneliti.

Publik terpecah. Ada yang menganggap bahwa BDSM adalah ekspresi seksual yang wajar. Namun, banyak pula yang menganggapnya menyimpang, melanggar norma, tak sesuai dengan budaya timur.

Kalangan akademisi dan peneliti pun terbagi. Aktivis feminisme menganggap BDSM adalah bentuk kekerasan pada perempuan. Namun, ada pula peneliti yang menganggap ekspresi itu lumrah. Perdebatan diantaranya muncul dalam tulisan-tulisan para akademisi di situs The Conversation.

Di tataran pemerintah, banyak negara sibuk menolak masuknya film itu. Indonesia telah menyatakan menolak karena menganggapnya tidak memenuhi syarat sensor. Malaysia menolak sebab menilai film itu dianggap mengekspos kekerasan dan ekspresi seksual tak wajar.

Di balik semua kehebohan itu, sudah tahukah kita tentang kultur BDSM? Apakah BDSM cuma sekadar mengikat dan mencambuk? Mengapa sampai ada ekspresi BDSM dan apakah benar itu tak normal alias menyimpang?

Telegraph Marquis de Sade, penulis

Menurut situs Psychology Today, BDSM dipercaya telah dipraktikkan sejak masa lampau. Kama Sutra misalnya, menguraikan bentuk-bentuk BDSM seperti menampar pantat dalam hubungan seksual.

Meskipun demikian, istilah BDSM sendiri baru mulai muncul setelah psikoanalisis yang dipelopori filsuf dan Psikolog Sigmund Freud. Secara formal, BDSM sendiri baru dipakai tahun 1960-an.

Sejarah kelahiran istilah BDSM dimulai dari novel karya Marquis de Sade, Justine, pada tahun 1785. Novel itu menggambarkan ekspresi seksual untuk mendapatkan kepuasan dengan menyiksa. Kata "Sade" lalu dipakai untuk istilah "Sadisme".

Sementara, tahun 1869, Leopold von Sacher-Masoch memublikasikan karyanya berjudul "Venuz im Pelz". Karya itu menceritakan tokoh laki-laki yang suka diperbudak oleh perempuan. Kata "masoch" kemudian dipakai untuk "masokisme".

Tahun 1889, Sigmund Freud kemudian menyatukan istilah sadisme dan masokisme menjadi sadomasokisme. Dia juga menyatakan bahwa perilaku tersebut adalah patologi seksual yang muncul karena represi dan di luar kesadaran.

Tahun 1969 dalam The New Partridge Dictionary of Slang and Unconventional English volume I, gabungan "bondage-discipline", "dominance-submission", dan "sado-masochism" baru dikenal resmi sebagai satu kesatuan, BDSM.

Wikipedia Emblem BDSM

Pandangan tentang BDSM, apakah normal atau menyimpang, sudah menjadi perdebatan sejak lama. Banyak psikolog hingga hari ini menganggap bahwa BDSM adalah sebuah perilaku seks yang menyimpang.

"Jelas itu menyimpang," kata psikolog dan seksolog Wimpie Pangkahila kepada Kompas.com, Minggu (8/3/2015). "Mencapai kepuasan lewat kekerasan itu menyimpang. Parafilia," imbuh dokter yang banyak memberikan konsultasi tentang seks tersebut.

Wimpie mendeskripsikan, "Seorang sadomasokis adalah mereka yang secara fisik dewasa namun secara psikoseksual masih anak-anak." Itu terjadi sebab terhambatnya perkembangan seksual.

Tahap perkembangan seksual, menurut Wimpie, bisa diklasifikasikan menjadi tiga. Pertama mengenal kenikmatan lewat oral, kemudian otot, dan terakhir genital. "Sadomasokis itu masih sampai pada otot," jelasnya.

Psikolog Universitas Diponegoro, Hastaning Sakti, menuturkan, perilaku bisa dipicu oleh trauma masa kecil. "Pernah diperlakukan kasar sehingga menganggap memperlakukan orang secara kasar dianggap wajar, termasuk dalam seks. Tapi, ini tidak selalu," katanya.

Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) I pada tahun 1952 menyatakan bahwa BDSM adalah penyimpangan. DSM II pada tahun 1968 menyatakan hal yang sama untuk masokisme.

DSM IV yang terbit pada tahun 1994 menyatakan bahwa BDSM adalah "psychiatric disorder". Sementara, DSM V yang terbit pada tahun 2013 menyatakab bahwa BDSM hanya tergolong sebagai gangguan psikologis jika menyebabkan tekanan pada diri sendiri dan orang lain.

Jadi, menurut Hastaning, jika ekspresi BDSM dijalankan oleh dua pihak yang saling menyetujui tanpa melibatkan orang lain yang keberatan, maka perilaku itu menjadi wajar untuk kalangan tersebut.

Gambaran ekspresi BDSM dengan persetujuan itulah yang tak banyak ditangkap. Novel "Fifty Shades of Grey" menggambarkan bahwa seseorang tidak bisa melakukan tindak sadomasokisme pada orang lain tanpa persetujuan. Novel itu malah menggambarkan adanya kontrak.

meetville.com Kutipan dari karya filsuf Michel Foucault, berarti,
Antropolog dan Kepala Pusat Kajian Gender dan Seksualitas di Universitas Indonesia, Irwan M Hidayana, mengungkapkan bahwa perjalanan panjang BDSM sebagai ekspresi seksual yang diangga menyimpang dan menjijikkan tak lepas dari relasi seks dan kekuasaan.

"Kita menganggap seks ada yang normal dan tidak normal itu kan terkait dengan kultur tempat kita tumbuh," ungkapnya ketika ditemui Kompas.com pada Jumat (6/3/2015) yang lalu.

Sebagai contoh, dalam kultur abad 19, masturbasi dianggap sebagai penyakit. Kalangan medis ikut menjustifikasinya kala itu. Namun saat ini, masturbasi dianggap sebagai ekspresi seksual yang biasa.

Irwan mengungkapkan bahwa setiap manusia sebagai sexual being sebenarnya memiliki fantasi. "Ketika kita berbicara fantasi, bagaimana kita bisa mengatakan bahwa fantasi itu normal dan tidak normal," jelasnya.

Faktor budaya sebagai cermin adanya kekuasaan yang mengontrol seksualitas manusia yang kemudian juga memengaruhi keberanian untuk mengekspresikannya. "Beberapa mungkin berani saja tetapi banyak yang tidak," kata Irwan.

Irwan memandang BDSM sebagai salah satu fantasi manusia. Sebagai fantasi, maka BDSM tidak bisa dikatakan normal atau tidak, apalagi dinyatakan sebagai sebuah penyakit mental atau penyimpangan psikologis.

Bila fantasi BDSM dianggap bukan masalah, apakah manusia berhak mengekspresikannya? "Itu kembali lagi ke pihak yang terlibat, apakah ada pemaksaan, bahaya, tekanan. Jika tidak pada dasarnya tidak masalah," kata Irwan.

Meski demikian, Irwan mengungkapkan bahwa seks identik dengan kenikmatan sekaligus bahaya atau rasa sakit. Dengan demikian, dalam ekspresi seks, individu harus benar-benar memahami konsekuensi dari apa yang dilakukannya.

Ayu Utami, penulis yang banyak mengksplorasi tema seks dan spiritualitas, mengatakan bahwa dari BDSM, sebenarnya manusia belajar satu hal. "BDSM itu menyimpan ambiguitas. Kita tidak suka, tetapi menikmati," katanya.

Anehkah bila ada manusia memperoleh kenikmatan seks dari rasa sakit? Mungkin. "Tapi kita harus terima bahwa seks itu memang irasional. Seks itu tidak ada yang benar. Semua nafsu itu aneh," imbuhnya.

Saat ini, praktik BDSM sendiri berlangsung di Indonesia. Internet memungkinkan pertemuan penggemar BDSM. Ekspresi BDSM muncul dalam bentuk cerita pendek erotis yang dibuat oleh orang-orang yang antuasias BDSM. Apakah ekspresi itu harus direpresi?

Ayu mengungkapkan bahwa setiap fantasi dan ekspresi seks seharusnya diakui, bukan ditolak atau ditekan. "Fantasi seks harus dibiarkan dalam red district, kalau nggak boleh malah menyebar ke kehidupan sehari-hari. Itu malah bahaya," ungkapnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Video Pilihan Video Lainnya >

komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau