Dalam penjelasannya, Stanley juga mengatakan tingginya permintaan akan kayu jati membuat harga selalu merayap naik. Kayu jati yang sudah tersertifikasi Perhutani misalnya, bisa berbanderol lebih dari Rp 8 juta per meter kubik. Sertifikasi adalah bukti yang menunjukkan kualitas kayu jati bersangkutan berkualitas baik.
Menurut rencana, jati harfam pun akan mengarah ke proses sertifikasi pula. Dengan cara itu, kelak, investasi jati harfam bisa makin menarik banyak peminat. "Tahun ini kami punya target penanaman hingga 700 hektar," kata Stanley.
Harfam dalam lamannya memang menawarkan penanaman modal pengembangan jati harfam bersamaan dengan aforestasi tersebut. Menggunakan cara kemitraan maupun waralaba, jati harfam dibudidayakan dengan luasan mulai 1000 meter persegi dengan jumlah pohon 100 batang serta potensi penghasilan Rp 1,5 miliar sampai dengan luasan 8 hektar dengan jumlah pohon 8.000 batang serta potensi penghasilan mencapai Rp 120 miliar.
Bersamaan dengan aforestasi itu, lanjut Stanley, pihaknya juga mengajak warga masyarakat sekitar lahan melakukan penanaman tumpang sari di sela-sela tegakan jati harfam. Tanaman yang mendapat rekomendasi untuk sistem itu adalah cabai, tembakau, dan tomat. Sementara, singkong, ubi, wortel, dan kacang-kacangan tidak diperbolehkan ditanam dalam program tumpang sari tersebut.
Catatan menunjukkan sampai sekarang, sudah ada 50 petani yang ikut serta dalam program tumpang sari. Dua orang petani, Tohali dan Munip, mengaku bisa mengantongi hasil penjualan cabai saat panen hingga Rp 1 juta. "Ini program kami untuk membantu memberdayakan warga sekitar lahan," demikian Stanley F Sinjal.