Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Aforestasi dengan Jati Bisa Berujung Manis

Kompas.com - 08/05/2014, 17:23 WIB
KOMPAS.com - Di Indonesia, aforestasi dengan tanaman jati bisa berujung manis. Pasalnya, jati (Tectona grandis) sudah begitu lama menjadi andalan industri furnitur  atau pengolahan kayu menjadi produk mebel. Meski, begitu, investasi jati sebagai tanaman utama aforestasi juga mesti menyertakan pengaruh kesejahteraan bagi warga sekitar lahan.

Catatan menunjukkan aforestasi adalah pembentukan hutan pada lahan yang sebelumnya bukan merupakan hutan. Secara lebih tegas, pemerintah Indonesia melalui Kementerian  Kehutanan mendefinisikan aforestasi sebagaimana termaktub dalam Peraturan Kementerian Kehutanan Nomor: P.14/Menhut-II/2004. Menurut peraturan itu, aforestasi adalah  penghutanan pada lahan yang selama 50 tahun atau lebih bukan merupakan hutan.

Aforestasi berbeda dengan reforestasi maupun reboisasi. Kedua istilah tersebut, reforestasi dan reboisasi, adalah pembentukan kembali hutan yang pernah gundul. Cara yang dilakukan bisa alami maupun buatan.

Berdekatan dengan istilah-istilah tersebut adalah desertifikasi. Arti desertifikasi adalah degradasi alias penurunan mutu lahan yang relatif kering menjadi semakin  gersang, kehilangan badan air, vegetasi, dan kehidupan liar. Penyebab desertifikasi adalah faktor-faktor seperti perubahan iklim dan aktivitas manusia. Kini, desertifikasi adalah masalah lingkungan dan ekologi global yang signifikan.

Di seluruh dunia, Tiongkok, Afrika Utara, Eropa, dan Iran menjadi kawasan-kawasan percontohan proyek aforestasi global. China menghelat aforestasi sejak 1981. Alhasil, saat ini sudah ada lebih dari 50 ribu meter perseegi hutan hasil aforestasi di Negeri Tembok Raksasa tersebut. Hal sama dilakukan pemerintah dan pihak-pihak terkait di  Afrika Utara, Eropa, dan Iran.

Sementara itu, berangkat dari Peraturan Menteri Kehutanan tersebut, aforestasi di Indonesia, memiliki peluang untuk berkembang menjadi investasi menguntungkan, di  samping pelestarian alam semata. "Aforestasi dengan tanaman jati bisa menjadi pilihan investasi," kata Stanley F Sinjal dari PT Harfam Jaya Makmur di sela-sela  perhelatan Forest Asia Summit 2014, Selasa (6/5/2014) di Jakarta.

Mengutip data majalah For Better Earth pada Volume IV-2014, terdapat catatan dari Forest Watch Indonesia. Lembaga itu pada 2009 mengatakan luas tutupan hutan  berbanding dengan luas daratan di Indonesia mencapai angka 46,33 persen. Angkanya, luas daratan Indonesia 190,31 juta hektar. Sementara, luas tutupan hutannya mencapai  88,17 juta hektar.

Yang menjadi masalah adalah persebaran tutupan hutan di Indonesia tidaklah proporsional alias merata. Secara rinci, luas tutupan hutan dengan luas daratan di Provinsi  Papua dan Provinsi Papua Barat mencapai 79,62 persen. Lalu, di Kalimantan perbandingannya mencapai 51,35 persen, Sulawesi 46,65 persen, Maluku 47,13 persen, Sumatra  25,41 persen, serta Bali dan Nusantara 16,04 persen.

Secara khusus, angka perbandingan antara luas tutupan hutan dengan luas daratan di Jawa menempati angka paling rendah yakni 6.90 persen. Sementara, pada Pasal 18  Undang-undang Kehutanan Nomor 41/1989 tertulis luasan hutan yang harus dipertahankan minimal 30 persen dari luas daerah aliran sungai dan pulau dengan sebaran yang  proporsional.

Jawa Timur, selanjutnya, imbuh Stanley, menjadi salah satu kawasan yang terbilang cocok untuk program aforestasi dengan penanaman pohon jati. "Kami memilih Kabupaten Bondowoso dan Situbondo sejak 2004," katanya.
    
Jati adalah tanaman yang amat cocok ditanam di tanah dengan basa netral. Jati juga pas ditanam di tanah dengan jarak mata air yang jauh. "Kalau akar jati dekat dengan  mata air, kayu yang dihasilkan lembek,"kata Stanley lagi.

Lebih lanjut, Stanley menerangkan, awalnya, pihaknya menanam tanaman jati di kawasan seluas 50 hektar. Mayoritas jati yang ditanam adalah jati dari Thailand.

Kemudian, dengan menggandeng Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), terang Stanley, pihaknya mengembangkan varietas jati tersebut yang kemudian ditanam  di Indonesia. Melalui berbagai tahapan riset dan pengembangan, jati tersebut kemudian diberi nama jati harfam.

Perkembangan hingga kini menunjukkan kalau jati harfam yang makin banyak ditanam di lahan perusahaan tersebut terbilang unggul. Andai dibandingkan dengan jenis jati  lainnya, jati harfam diklaim lebih cepat dipanen. "Penanaman jati harfam di lahan sekitar 200 hektar sejak 2010 diharapkan akan panen pada 2018,"kata Stanley sembari  menerangkan kalau jenis jati lainnya kadang baru bisa menghasilkan kayu bermutu pada usia 40 tahun.

Kebutuhan

Masih menurut penjelasan Stanley, industri mebel kian hari kian banyak membutuhkan kayu jati sebagai bahan dasar. Kabupaten Jepara di Jawa Tengah, misalnya, adalah  kabupaten yang terbilang besar menyerap jati. Sudah bukan rahasia umum lagi kalau kabupaten dengan slogan Bumi Kartini itu adalah sentra industri mebel terbesar di  Jawa.

Dalam penjelasannya, Stanley juga mengatakan tingginya permintaan akan kayu jati membuat harga selalu merayap naik. Kayu jati yang sudah tersertifikasi Perhutani  misalnya, bisa berbanderol lebih dari Rp 8 juta per meter kubik. Sertifikasi adalah bukti yang menunjukkan kualitas kayu jati bersangkutan berkualitas baik.

Menurut rencana, jati harfam pun akan mengarah ke proses sertifikasi pula. Dengan cara itu, kelak, investasi jati harfam bisa makin menarik banyak peminat. "Tahun ini  kami punya target penanaman hingga 700 hektar," kata Stanley.

Harfam dalam lamannya memang menawarkan penanaman modal pengembangan jati harfam bersamaan dengan aforestasi tersebut. Menggunakan cara kemitraan maupun waralaba,  jati harfam dibudidayakan dengan luasan mulai 1000 meter persegi dengan jumlah pohon 100 batang serta potensi penghasilan Rp 1,5 miliar sampai dengan luasan 8 hektar dengan jumlah  pohon 8.000 batang serta potensi penghasilan mencapai Rp 120 miliar.

Bersamaan dengan aforestasi itu, lanjut Stanley, pihaknya juga mengajak warga masyarakat sekitar lahan melakukan penanaman tumpang sari di sela-sela tegakan jati  harfam. Tanaman yang mendapat rekomendasi untuk sistem itu adalah cabai, tembakau, dan tomat. Sementara, singkong, ubi, wortel, dan kacang-kacangan tidak diperbolehkan ditanam dalam program tumpang sari tersebut.

Catatan menunjukkan sampai sekarang, sudah ada 50 petani yang ikut serta dalam program tumpang sari. Dua orang petani, Tohali dan Munip, mengaku bisa mengantongi hasil  penjualan cabai saat panen hingga Rp 1 juta. "Ini program kami untuk membantu memberdayakan warga sekitar lahan," demikian Stanley F Sinjal.     


Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com