Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kabut Asap di Bulan Basah

Kompas.com - 25/04/2014, 13:22 WIB

Fenomena politik-ekonomi terkait erat dengan sistem tata kelola hutan dan lahan dan kerangka peraturan dan perundangannya. Jika perizinan dan batas lokasinya jelas, kemudian terjadi pelanggaran maka penegakan hukumnya pun memiliki jalur yang jelas.

Karena itu negara harus bertanggungjawab melakukan penindakan. Jika negara tidak bertindak, akan timbul kesan pembiaran. Tindakan yang terlambat sekalipun, hingga timbul korban baik material maupun non materiil, akan memberi nilai kapabilitas dan akuntabilitas negara yang rendah.

Fenomena fisik

Kabut asap memang terjadi musiman. Dengan segala resikonya, orang biasanya membakar pada musim kemarau sehingga yang dibakar akan cepat habis.

Musim kemarau biasanya baru tiba sekitar bulan April atau Mei. Namun kondisi iklim di Riau akhir-akhir ini nampaknya terjadi anomali. Bulan Februari – Maret yang biasanya masih basah, ternyata sudah kering dan memungkinkan orang untuk membakar lahan bersemak (tidak selalu hutan) yang tumbuh di atas gambut yang relatif basah.

Alhasil, api tidak menyala dan pembakaran yang tidak sempurna karena bahan bakarnya basah dan kekurangan oksigen ini menimbulkan banyak asap.

Celakanya hukum Buys Ballot berlaku di sini. Pada saat ini angin muson di belahan bumi utara masih bertiup dari timur laut (Asia yang bertekanan udara tinggi) dan berbelok ke tenggara di belahan bumi selatan (menuju Australia yang bertekanan udara rendah) ketika melewati khatulistiwa yang melewati Provinsi Riau, beberapa kilometer di selatan Kota Pekanbaru. Karena itu Singapura dan semenanjung Malaysia tidak terjamah asap dari Sumatra.

Situasi akan jauh berbeda kalau hal sebaliknya terjadi. Angin akan berubah arah kira-kira 3-4 bulan yang akan datang. Media internasional akan sangat ramai memberitakan kesengsaraan warga Singapura dan menjadikan pemerintah Indonesia bulan-bulanan. Tuding-menuding akan makin tajam dan perang urat syaraf dengan negara tetangga terulang lagi.

Fenomena alam seperti kemarau panjang, kekeringan, dan El Nino bukan penyebabnya meskipun harus diwaspadai. Fenomena ini bisa diprediksi dan dijadikan sistem peringatan dini bukan kambing hitam.

Paradoks

Kabut asap di Singapura dan di Sumatera sama berbahayanya bagi manusia. Namun ketika asap menyesakkan nafas warga Jambi dan Pekanbaru, kita tidak mendengar laporan tentang tingkat polusinya.

Padahal dari alat-alat mahal yang sudah dibeli pemerintah warga paling sedikit bisa mendapat informasi mengenai kandungan partikel (particulate matter, PM) yang berukuran 10 mikron (PM-10) yang dapat menimbulkan infeksi saluran pernafasan atas (ISPA).

Sementara itu media nasional hanya mengabarkan secara umum bahwa jarak pandang di landas pacu bandara atau di kota besar yang tidak berarti apa-apa untuk memberi peringatan warga tentang tingkat bahaya udara yag mereka hirup. PM-10 pada konsentrasi melebihi 100 mikrogram per m3 sudah tidak sehat.

Pemerintah Singapura sudah menyiapkan peraturan yang dapat mendenda pelaku pembakaran sementara Indonesia satu-satunya anggota ASEAN yang belum meratifikasi Pesetujuan Polusi Asap Lintas Batas yang sudah berumur 12 tahun.

Benarkah kedaulatan kita terusik? Bagaimana dengan warga kita yang tersedak?

Catatan Editor: Kebakaran Hutan dan Kabut Asap akan menjadi salah satu tema diskusi dalam Forests Asia Summit, 5-6 Mei di Jakarta. Dalam event ini, panelis akan mendiskusikan tentang kerumitan tata kelola lahan dan sumber daya hutan di Asia Tenggara dan mengeksplorasi cara-cara untuk membentuk institusi, proses-proses pengambilan keputusan dan aturan-aturan yang dapat mendorong kelestarian lanskap. Kompas.com merupakan media mitra Forests Asia Summit.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com