Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kabut Asap di Bulan Basah

Kompas.com - 25/04/2014, 13:22 WIB


Oleh Daniel Murdiyarso

Pantai timur Pulau Sumatera, khususnya Propinsi Riau dan Jambi yang diselimuti asap tebal di akhir Maret dan awal April akibat pembakaran lahan yang terkait dengan pembersihan lahan untuk pengembangan kelapa sawit, hutan tanaman industri dan keperluan lainnya.

Anehnya media internasional relatif tenang, tidak meributkan penderitaan masyarakat di kota-kota seperti Pekanbaru dan Jambi ketimbang kalau peristiwa yang sama terjadi di Singapura.

Asap adalah masalah lintas-batas (transboundary) sehingga dampak soasial ekonominya bisa meluas tergantung sampai kemana angin bertiup. Namun tidak ada asap kalau tidak ada api dan jangan disangka bahwa api adalah masalah lokal.

Dengan sistem perdagangan dan investasi global yang terjadi saat ini penyebab terjadinya api bisa juga lintas-batas.

Ada dua fenomena menarik untuk dicermati sekaligus dicari jalan keluarnya disela-sela kegaduhan tahun politik yang mencuri banyak perhatian para pihak yang seharusnya berwenang menangani masalah menahun ini.

Fenomena politik-ekonomi yang makin kompleks dan fenomena fisik terkait posisi geografis Pulau Sumatera.

Fenomena pertimbangan politis

Terminologi pertimbangan politis dapat diartikan sebagai keputusan politik dalam bentuk kebijakan untuk mencapai tujuan ekonomi jangka pendek (pertumbuhan).

Berseberangan dengan terminologi ini adalah politik-ekologi yang secara konservatif mengutamakan tujuan-tujuan pertimbangan ekologis jangka panjang dan menomorduakan tujuan ekonomi.

Aktor di balik fenomena ini sudah jelas, pengambil kebijakan (pusat dan daerah) dan pelaku pasar, khususnya investor yang sudah memiliki skenario dagang dalam jaringannya yang luas dalam memasarkan produknya.

Minyak sawit, pulp, dan kertas adalah produk primadona yang menghasilkan devisa yang penting untuk pemasukan negara. Kepada masyarakat bisnis negara memberi kemudahan termasuk izin penguasaan dan konversi lahan sebagai faktor utama produksi.

Sebaliknya, negara menerima pajak dan pemasukan lainnya untuk digunakan sebagai modal pembangunan selanjutnya dan mengawasi pelaksanaan kebijakan yang telah dibuatnya.

Jika kemampuan pengawasan lemah, pemasukan uang negara bisa dipakai untuk membangun kapasitas. Jika kebakaran itu sudah berulang-ulang dan dikatakan kapasitas itu tidak ada sementara negara menerima ratusan triliyun rupiah dari pajak, pasti ada sesuatu yang tidak beres. Korupsi. Dalam hal ini KPK memang harus masuk.

Dalam hal menentukan tempat kejadian perkara kita sudah memiliki teknologi yang akurat untuk menentukan lokasi dan pemilik lahannya. Cara ini dapat digunakan sebagai barang bukti sekaligus untuk memutus rantai kucing-kucingan antara pengusaha besar – rakyat kecil – pemerintah – pemerintah daerah yang tak kunjung selesai saling melempar tanggung jawab.

Fenomena politik-ekonomi terkait erat dengan sistem tata kelola hutan dan lahan dan kerangka peraturan dan perundangannya. Jika perizinan dan batas lokasinya jelas, kemudian terjadi pelanggaran maka penegakan hukumnya pun memiliki jalur yang jelas.

Karena itu negara harus bertanggungjawab melakukan penindakan. Jika negara tidak bertindak, akan timbul kesan pembiaran. Tindakan yang terlambat sekalipun, hingga timbul korban baik material maupun non materiil, akan memberi nilai kapabilitas dan akuntabilitas negara yang rendah.

Fenomena fisik

Kabut asap memang terjadi musiman. Dengan segala resikonya, orang biasanya membakar pada musim kemarau sehingga yang dibakar akan cepat habis.

Musim kemarau biasanya baru tiba sekitar bulan April atau Mei. Namun kondisi iklim di Riau akhir-akhir ini nampaknya terjadi anomali. Bulan Februari – Maret yang biasanya masih basah, ternyata sudah kering dan memungkinkan orang untuk membakar lahan bersemak (tidak selalu hutan) yang tumbuh di atas gambut yang relatif basah.

Alhasil, api tidak menyala dan pembakaran yang tidak sempurna karena bahan bakarnya basah dan kekurangan oksigen ini menimbulkan banyak asap.

Celakanya hukum Buys Ballot berlaku di sini. Pada saat ini angin muson di belahan bumi utara masih bertiup dari timur laut (Asia yang bertekanan udara tinggi) dan berbelok ke tenggara di belahan bumi selatan (menuju Australia yang bertekanan udara rendah) ketika melewati khatulistiwa yang melewati Provinsi Riau, beberapa kilometer di selatan Kota Pekanbaru. Karena itu Singapura dan semenanjung Malaysia tidak terjamah asap dari Sumatra.

Situasi akan jauh berbeda kalau hal sebaliknya terjadi. Angin akan berubah arah kira-kira 3-4 bulan yang akan datang. Media internasional akan sangat ramai memberitakan kesengsaraan warga Singapura dan menjadikan pemerintah Indonesia bulan-bulanan. Tuding-menuding akan makin tajam dan perang urat syaraf dengan negara tetangga terulang lagi.

Fenomena alam seperti kemarau panjang, kekeringan, dan El Nino bukan penyebabnya meskipun harus diwaspadai. Fenomena ini bisa diprediksi dan dijadikan sistem peringatan dini bukan kambing hitam.

Paradoks

Kabut asap di Singapura dan di Sumatera sama berbahayanya bagi manusia. Namun ketika asap menyesakkan nafas warga Jambi dan Pekanbaru, kita tidak mendengar laporan tentang tingkat polusinya.

Padahal dari alat-alat mahal yang sudah dibeli pemerintah warga paling sedikit bisa mendapat informasi mengenai kandungan partikel (particulate matter, PM) yang berukuran 10 mikron (PM-10) yang dapat menimbulkan infeksi saluran pernafasan atas (ISPA).

Sementara itu media nasional hanya mengabarkan secara umum bahwa jarak pandang di landas pacu bandara atau di kota besar yang tidak berarti apa-apa untuk memberi peringatan warga tentang tingkat bahaya udara yag mereka hirup. PM-10 pada konsentrasi melebihi 100 mikrogram per m3 sudah tidak sehat.

Pemerintah Singapura sudah menyiapkan peraturan yang dapat mendenda pelaku pembakaran sementara Indonesia satu-satunya anggota ASEAN yang belum meratifikasi Pesetujuan Polusi Asap Lintas Batas yang sudah berumur 12 tahun.

Benarkah kedaulatan kita terusik? Bagaimana dengan warga kita yang tersedak?

Catatan Editor: Kebakaran Hutan dan Kabut Asap akan menjadi salah satu tema diskusi dalam Forests Asia Summit, 5-6 Mei di Jakarta. Dalam event ini, panelis akan mendiskusikan tentang kerumitan tata kelola lahan dan sumber daya hutan di Asia Tenggara dan mengeksplorasi cara-cara untuk membentuk institusi, proses-proses pengambilan keputusan dan aturan-aturan yang dapat mendorong kelestarian lanskap. Kompas.com merupakan media mitra Forests Asia Summit.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com