Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jalan Panjang Menyingkap Hilal

Kompas.com - 16/07/2013, 10:03 WIB

BANJARMASIN POST/DONNY SOPHANDI Ilustrasi: Tim rukyah hilal dari MUI dan Departemen Agama Provinsi Kalsel, melakukan pengamatan penghitungan datangnya Idul Fitri 1 Syawal 1431 Hiriah di atas gedung BPD Kalsel, Rabu (8/9/2010). Pengamatan di tempat ini hilal tidak terlihat.
Bekerja dalam sunyi dan tak berharap mendapat tepuk tangan, langkah-langkah pengumpulan data rukyat tersebut patut diapresiasi di tengah kecenderungan umat yang lebih suka berwacana dan memperdebatkan masalah ini di meja dengan segala asumsinya, tanpa tergerak untuk mencari data di lapangan. Apalagi belakangan muncul wacana untuk menafikan rukyat dan menganggapnya sebagai kegiatan yang membuang-buang tenaga dan dana semata.

Dengan semua upaya yang telah dilakukan, beragam kendala membuat jumlah data yang berhasil diakumulasi masih tergolong kecil. Apalagi, jika dibandingkan dengan data-data observasi benda langit selain hilaal lainnya. Bandingkan, misalnya dengan observasi asteroid 2012 DA14, si pemecah rekor asteroid besar (diameter 60 meter) yang melintas terdekat dengan Bumi pada 15 Februari 2013 silam dalam jarak hanya 27.700 km.

Sejak ditemukan Februari 2012, hingga setahun kemudian, para pemburu asteroid berlomba-lomba mengarahkan teleskopnya ke benda langit ini. Meski tingkat kesulitan observasinya lebih tinggi ketimbang rukyat hilaal, kerja keras mereka berbuah manis. Hanya dalam setahun itu IAU (International Astronomical Union) mencatat data yang berhasil diakumulasikan melalui Minor Planet Center (MPC) mencapai 1.068 buah. Sehingga, karakteristik asteroid ini pun dapat dipahami dengan lebih baik.

Bayangkan, kerja keras setahun berhasil mengumpulkan data sebanyak itu sementara rukyat hilaal selama enam tahun berturut-turut tak bisa mengumpulkan data dalam kuantitas serupa. Pada titik ini, ‘militansi’ Umat Islam lewat cendekiawan-cendekiawannya dimanapun, termasuk di Indonesia, patut dipertanyakan.

Definisi

Data yang masih sedikit tentu belum memadai untuk mengonstruksi definisi hilal berbasis kriteria yang sahih. Meminjam kata-kata Albert Einstein, data yang sangat sedikit hanya mampu menyingkap ujung selimut raksasa yang menutupi “sesuatu.” Di sini, “sesuatu” itu adalah hilal. Namun, meski hanya baru seujung kuku yang tersingkap, bagaimana sifat-sifat yang khas dan berpola matematis mulai bisa kita lihat.

Di Indonesia, data RHI memperlihatkan bahwa hilal sebaiknya didefinisikan sebagai Bulan yang pada saat Matahari terbenam pasca konjungsi memiliki beda tinggi Bulan-Matahari bervariasi antara 5,4 derajat (beda azimuth Bulan-Matahari 5 derajat) hingga 10,4 derajat (beda azimuth 0 derajat).

Sebab, hanya pada nilai itulah sabit Bulan teridentifikasi (dengan teleskop). Perbandingan dengan data-data rukyat yang dihimpun dari mancanegara, misalnya dari Baitul Hilal Teluk Kemang (Malaysia) dan juga data ICOP yang terseleksi (hanya yang berasal dari kawasan tropis) menunjukkan data RHI adalah konsisten sehingga menjadi ciri khas kawasan.

Maka, hilal sejatinya terjadi dengan beda tinggi Bulan-Matahari yang bervariasi, tak hanya terpatok pada angka 3,25 derajat (seperti dalam imkan rukyat revisi) ataupun 0 derajat (seperti pada wujudul hilaal) tanpa mempedulikan beda azimuthnya. Secara singkat dapat dikatakan, kian dekat Bulan ke Matahari (kian mengecil beda azimuthnya) maka kian meningkat pula beda tingginya.

Data RHI juga menunjukkan fenomena menarik lainnya. Bulan berstatus hilal saat ia memiliki Lag antara +24 hingga +40 menit kala Matahari terbenam. Ini menciptakan batasan tegas yang membedakan hilaal dengan status Bulan lainnya sebagai implikasi dari fase-fase Bulan.

Kini, kita bisa mengatakan bahwa jika Bulan memiliki Lag ³ +40 menit saat Matahari terbenam, maka saat itu Bulan sudah menjadi Bulan sabit. Sebaliknya Bulan dengan Lag £ +24 menit juga perlu didefinisikan sendiri karena Bulan jauh lebih dekat ke Matahari sehingga sabit Bulannya tak terlihat meski diobservasi dengan teleskop sekalipun. Ini menjadi fakta sains, kian dekat ke Matahari maka kian benderang intensitas cahaya langit yang kita lihat sehingga pada titik tertentu ia bakal melampaui terangnya cahaya sabit Bulan.

Dalam bahasa yang lebih sederhana, pada situasi dimana Lag £ +24 menit maka terangnya cahaya Bulan terkalahkan/tertutupi oleh benderangnya cahaya Matahari yang sedang terbenam. Ini mendatangkan konsekuensi tentang perlunya menafsirkan ulang frasa “tertutupi” yang disebut dalam hadis Nabi SAW.

Selama ini, frasa “tertutupi” lebih diterjemahkan sebagai tertutupi awan, tapi ini adalah argumen lokalitas Indonesia sebagai negeri berkelembaban udara tinggi dan banyak hujannya. Misalnya Jakarta, dalam setahun Tarikh Umum rata-rata memiliki 119 hari hujan dengan kelembaban udara sore 61 %. Bandingkan dengan kotasuci Makkah, yang hanya memiliki 12 hari hujan per tahun dan kelembaban udara jauh lebih rendah, yakni hanya 31 %.

Dengan Nabi SAW hidup di Jazirah Arabia yang karakter iklim dan cuacanya bertolak belakang dengan Indonesia, maka sulit untuk mengaitkan frasa “tertutupi” dengan tertutupi awan. Lebih tepat jika frasa “tertutupi” itu terkait dengan fenomena yang lebih universal, dalam hal ini adalah cahaya (Bulan) yang tertutupi cahaya (Matahari).

Penafsiran ulang ini sekaligus mampu menjawab persoalan apakah cuaca buruk sepanjang waktu tertentu (seperti kerap terjadi di Indonesia) membuat penetapan Ramadhan maupun hari raya akan mundur sehari ataukah tidak.

Pada akhirnya, jalan panjang telah terbenatng dan masih harus dilalui untuk menyingkap rahasia hilal lebih mendalam lagi. Namun, beberapa ciri khasnya sudah bisa kita lihat dan terapkan khususnya untuk kepentingan penentuan Ramadhan.

* Muh Ma'rufin Sudibyo, Koordinator Riset Jejaring Rukyatul Hilal Indonesia & Ketua Tim Ahli Badan Hisab dan Rukyat Daerah Kebumen

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com