Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Di Bawah Bayang-bayang Bulan

Kompas.com - 06/07/2013, 17:05 WIB

Di masa silam, misalnya 620 juta tahun lalu, jarak rata-rata Bulan lebih kecil dibanding sekarang, yakni hanya 380.900 km. Imbasnya, satu hari di Bumi pada saat itu hanya berumur 21,9 jam sehingga perputaran Bumi mengelilingi Matahari membutuhkan waktu 400 hari, bukan 365 hari.

Fakta tersebut terekam dengan baik dalam lembaran-lembaran fosil kerang yang masih tersisa. Di masa depan, dengan kian menjauhnya Bulan maka kecepatan rotasi Bumi pun bakal kian melambat sehingga sehari pun bakal bernilai lebih dari 24 jam.

Kalender

Meski dinamis, namun perubahan parameter-parameter Bulan cukup kecil jika ditinjau dalam rentang waktu 10.000 tahun terakhir, yakni periode saat peradaban manusia lahir dan berkembang di muka Bumi. Karena kecilnya, maka efeknya tak signifikan.

Dikombinasikan dengan fase Bulan, yakni berubah-ubahnya penampakan Bulan bila dilihat dari Bumi mulai dari menyerupai sabit, separuh (lingkaran), lingkaran benjol hingga lingkaran sempurna (purnama), maka kita melihat Bulan sebagai benda langit yang memiliki siklus fase teratur yang ajek dalam rentangan masa.

Keteraturan dan keajekan tersebut menjadikan Bulan dijadikan dasar bagi beragam sistem penanggalan (kalender) bagi umat manusia di segenap penjuru. Selain Umat Islam, siklus Bulan juga juga dijadikan patokan oleh bangsa Cina, Yahudi, India dan kalangan suku Indian tertentu. Oleh karena itu, tak berlebihan jika sedikitnya sepertiga penduduk Bumi saat ini berada di bawah bayang-bayang Bulan sebagai penanda waktunya.

Kalender yang berbasiskan Bulan berpatokan pada periode sinodis. Ini adalah selang waktu yang dibutuhkan Bulan di antara dua peristiwa konjungsi (ijtima’) yang beruntun. Konjungsi secara harfiah adalah ‘berkumpul’-nya Bulan dan Matahari, yang secara astronomis terjadi saat pusat cakram Bulan dan pusat cakram Matahari menempati garis bujur ekliptika yang sama.

Dengan menyudutnya orbit Bulan terhadap ekliptika maka fenomena tersebut tak pernah bisa disaksikan, terkecuali jika pada saat yang sama Bulan juga menempati salah satu titik nodalnya sehingga nampak sebagai Gerhana Matahari.

Dalam persepsi umum periode sinodis, Bulan bernilai 29,5 hari. Sebenarnya tidak demikian.  Gangguan gravitasi Venus dan Mars ternyata juga menyebabkan titik nodal orbit Bulan bergoyang maju-mundur (berosilasi) sebesar 1,7 derajat. Demikian pula titik perigee-nya yang berosilasi hingga 12,7 derajat. Salah satu imbasnya adalah bervariasinya nilai periode sinodis Bulan di antara 29 hari 6 jam hingga 29 hari 20 jam.

Imbas lainnya, titik tengah periode sinodis Bulan tak selalu berimpit dengan puncak fase Bulan. Sehingga Bulan purnama tidak selalu jatuh bertepatan dengan tengah-tengah periode sinodis Bulan. 

* Muh. Ma'rufin Sudibyo, Koordinator Riset Jejaring Rukyatul Hilal Indonesia & Ketua Tim Ahli Badan Hisab dan Rukyat Daerah Kebumen

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Video Pilihan Video Lainnya >

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com