Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Di Bawah Bayang-bayang Bulan

Kompas.com - 06/07/2013, 17:05 WIB

Muh. Ma’rufin Sudibyo*

KOMPAS.com - Seiring proses kelahirannya yang menakjubkan, Bulan purba terus berkembang mengikuti alunan waktu. Sebagian besar awan debu yang semula terserak di sekeliling Bumi,  perlahan namun pasti bergabung dengan dua buah bayi Bulan yang kini telah melekat menyatu menjadi Bulan purba. Proses tersebut lantas ditingkahi dinamika internal dalam rupa bergejolaknya vulkanisme Bulan serta dinamika eksternal melalui bombardir asteroid dan komet dalam jumlah dan skala yang tak terbayangkan.

Pada akhirnya, setelah tata surya menjadi lebih tertata dan lebih ‘sunyi’, Bulan purba pun menemukan bentuknya seperti yang sekarang kita saksikan.

Kini, Bulan merupakan benda langit sferis dengan 3.476 km yang tersusun dari material batuan mirip-bumi (terestrial) dengan kerapatan (densitas) rata-rata 3,34 gram per sentimeter kubik. Massanya setara dengan 7,4 % massa Bumi sementara percepatan gravitasi di permukaannya adalah 16,5 % Bumi.

Sebagai implikasi bersatunya dua bayi Bulan di awal usianya, kini sumbu rotasi Bulan tidaklah tegak lurus terhadap bidang edar Bumi mengelilingi Matahari (ekliptika). Namun, membentuk sudut yang bervariasi antara 3,6 hingga 6,7 derajat. Bandingkan dengan sumbu rotasi Bumi, yang menyudut hingga 23,5 derajat sebagai jejak yang masih tersisa dari hantaman prototheia terhadap protobumi di masa silam.

Orbit Bulan

Bulan kini setia mengelilingi Bumi dalam orbitnya yang lonjong yang jarak rata-ratanya 384.400 kilometer, terhitung dari pusat Bulan ke pusat Bumi, dan kelonjongan (eksentrisitas) sebesar 0,0549.

Orbit yang lonjong ini membuat Bulan pada satu saat akan berposisi lebih dekat ke Bumi hingga menempati titik terdekatnya (perigee) sejauh 358.800 km. Sebaliknya pada saat lain Bulan bakal menjauh hingga menempati titik terjauhnya (apogee) yang sejarak 410.000 km. Dengan orbit seperti itu maka Bulan beredar mengelilingi Bumi pada kecepatan bervariasi antara 0,99 hingga 1,05 km/detik dan memiliki periode orbital (sideris) sebesar 27 hari 7 jam 2 menit.

Nilai periode orbital ini ternyata tepat sama dengan periode rotasi Bulan. Inilah konsekuensi dari fenomena kuncian gravitasi Bumi, yang sekaligus melahirkan interaksi unik di antara Bumi dan Bulan.

Kuncian gravitasi membuat Bulan selalu menghadapkan wajah yang sama ke arah Bumi sepanjang waktu. Bagian ini dikenal sebagai sisi dekat Bulan. Sebaliknya, juga terdapat wajah Bulan yang sama sekali tak pernah kita lihat karena selalu membelakangi kita, yang disebut sisi jauh Bulan.

Bagaimana rupa sisi jauh Bulan, baru kita ketahui pada 1959 silam kala wahana antariksa tak berawak Luna 3 yang diterbangkan eks-Uni Soviet memotretnya untuk pertama kalinya.

Orbit Bulan berinklinasi atau menyudut 5,15 derajat terhadap ekliptika. Terhadap ekuator Bumi, kemiringan itu bervariasi antara 18,29 hingga 28,58 derajat. Dengan demikian proyeksi posisi Bulan di permukaan Bumi tak selalu berimpit dengan garis khatulistiwa, melainkan bervariasi di antara garis 28,58 LU hingga 28,58 LS.

Sebagai konsekuensinya, maka hanya ada dua titik potong di antara orbit Bulan dengan bidang ekliptika yang disebut titik nodal, dalam rupa titik nodal naik (ascending node) dan turun (descending node). Titik nodal berperan dalam gerhana, baik Gerhana Matahari maupun Bulan. Titik nodal turut beredar mengelilingi Bumi dengan periode 18,61 tahun, periode yang disebut siklus nodal dan implikasinya dalam gerhana menghasilkan siklus Saros.

Harus digarisbawahi bahwa parameter-parameter orbit Bulan tidaklah statis, melainkan dinamis seiring waktu sehingga bakal terus berubah. Terlebih, Bulan senantiasa menjauhi Bumi pada kecepatan 3,82 cm/tahun sebagai imbas dari proses kelahirannya yang menakjubkan. Bulan juga senantiasa terganggu gravitasi planet-planet tetangga seperti Venus dan Mars. Akibatnya, nilai inklinasi orbitnya tidak selalu 5,15 derajat, melainkan bervariasi antara 5 hingga 5,3 derajat. Demikian pula kelonjongannya yang tak menetap pada angka 0,0549 melainkan bervariasi antara 0,0432 hingga 0,0666.

Seiring terjadinya kuncian gravitasi, maka berubahnya parameter-parameter Bulan menyebabkan perubahan pada kecepatan rotasi Bumi.

Di masa silam, misalnya 620 juta tahun lalu, jarak rata-rata Bulan lebih kecil dibanding sekarang, yakni hanya 380.900 km. Imbasnya, satu hari di Bumi pada saat itu hanya berumur 21,9 jam sehingga perputaran Bumi mengelilingi Matahari membutuhkan waktu 400 hari, bukan 365 hari.

Fakta tersebut terekam dengan baik dalam lembaran-lembaran fosil kerang yang masih tersisa. Di masa depan, dengan kian menjauhnya Bulan maka kecepatan rotasi Bumi pun bakal kian melambat sehingga sehari pun bakal bernilai lebih dari 24 jam.

Kalender

Meski dinamis, namun perubahan parameter-parameter Bulan cukup kecil jika ditinjau dalam rentang waktu 10.000 tahun terakhir, yakni periode saat peradaban manusia lahir dan berkembang di muka Bumi. Karena kecilnya, maka efeknya tak signifikan.

Dikombinasikan dengan fase Bulan, yakni berubah-ubahnya penampakan Bulan bila dilihat dari Bumi mulai dari menyerupai sabit, separuh (lingkaran), lingkaran benjol hingga lingkaran sempurna (purnama), maka kita melihat Bulan sebagai benda langit yang memiliki siklus fase teratur yang ajek dalam rentangan masa.

Keteraturan dan keajekan tersebut menjadikan Bulan dijadikan dasar bagi beragam sistem penanggalan (kalender) bagi umat manusia di segenap penjuru. Selain Umat Islam, siklus Bulan juga juga dijadikan patokan oleh bangsa Cina, Yahudi, India dan kalangan suku Indian tertentu. Oleh karena itu, tak berlebihan jika sedikitnya sepertiga penduduk Bumi saat ini berada di bawah bayang-bayang Bulan sebagai penanda waktunya.

Kalender yang berbasiskan Bulan berpatokan pada periode sinodis. Ini adalah selang waktu yang dibutuhkan Bulan di antara dua peristiwa konjungsi (ijtima’) yang beruntun. Konjungsi secara harfiah adalah ‘berkumpul’-nya Bulan dan Matahari, yang secara astronomis terjadi saat pusat cakram Bulan dan pusat cakram Matahari menempati garis bujur ekliptika yang sama.

Dengan menyudutnya orbit Bulan terhadap ekliptika maka fenomena tersebut tak pernah bisa disaksikan, terkecuali jika pada saat yang sama Bulan juga menempati salah satu titik nodalnya sehingga nampak sebagai Gerhana Matahari.

Dalam persepsi umum periode sinodis, Bulan bernilai 29,5 hari. Sebenarnya tidak demikian.  Gangguan gravitasi Venus dan Mars ternyata juga menyebabkan titik nodal orbit Bulan bergoyang maju-mundur (berosilasi) sebesar 1,7 derajat. Demikian pula titik perigee-nya yang berosilasi hingga 12,7 derajat. Salah satu imbasnya adalah bervariasinya nilai periode sinodis Bulan di antara 29 hari 6 jam hingga 29 hari 20 jam.

Imbas lainnya, titik tengah periode sinodis Bulan tak selalu berimpit dengan puncak fase Bulan. Sehingga Bulan purnama tidak selalu jatuh bertepatan dengan tengah-tengah periode sinodis Bulan. 

* Muh. Ma'rufin Sudibyo, Koordinator Riset Jejaring Rukyatul Hilal Indonesia & Ketua Tim Ahli Badan Hisab dan Rukyat Daerah Kebumen

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Video Pilihan Video Lainnya >

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com