Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Hujan Bulan Juni"

Kompas.com - 14/06/2013, 11:36 WIB

Rita, sahabat Juha yang penulis skenario sinetron itu, tahu betul sebagian riwayat hidup Juha. Terutama yang berkait dengan romansa Juha saat suami Kokom itu jatuh cinta kepada Seruni yang aktris teater. Tiap ketemu, cuma musikalisasi puisi "Hujan Bulan Juni" itulah yang dinyanyikan Juha.

Kecuali memang indah musikalisasi garapan Ags Dwipayana (alm) untuk puisi "Hujan Bulan Juni" itu, konon percintaan Juha-Seruni juga dimulai pada bulan Juni. Sebuah lagu dan sebuah awal percintaan, ...ah, perpaduan yang melankolis bukan?

Hujan bulan Juni, atau lebih komplet lagi, hujan di bulan Juni... bukankah juga sebuah alarm yang mengkhawatirkan? Sebuah peristiwa alam yang tidak semestinya. Dari abad ke abad, manusia Indonesia menyaksikan, betapa matahari bulan Juni bergeser dari selatan menuju ke utara sehingga mengubah posisi tekanan udara menjadi rendah.

Pada bulan Juni sampai September, biasanya arus angin yang garing bertiup dari Australia yang mengakibatkan musim kemarau berlangsung di Indonesia. Sebaliknya, pada bulan Desember sampai Maret arus angin yang banyak mengandung uap air dari Asia dan samudera Pasifik - setelah melewati beberapa lautan - melintasi daerah Indonesia menuju ke benua Australia. Karenanya pada bulan-bulan ini biasanya terjadi musim hujan.

Tapi begitulah, manusia hanya bisa memperkirakan. Selebihnya, semesta punya jawaban lain atas musabab yang diperbuat manusia.

"Dan kini Jakarta malah hujan deras, Ju. Padahal ini Juni," ucap Rita setelah Juha menghubunginya lewat telepon.

Ada perasaan was-was pada nada bicara Rita. Katanya, ia merasakan denyut nadi semesta sudah mulai kacau iramanya.
"Aku takut sejarah gelap kehidupan akan segera berulang dalam waktu dekat, Ju. Kita tak harus menunggu berjuta-juta tahun ke depan untuk perubahan semesta raya seperti halnya ketika semesta memusnahkan dinosaurus," suara Rita terdengar getir.
"Seperti ketika umat Nabi Luth ditimbun oleh tanah tempat mereka berpijak," sahut Juha.
"Ya, seperti saat umat Nuh tenggelam oleh banjir bandang. O... semesta, selalu tahu saat kapan ia harus menghukum penghuninya. Kita tahu, Ju....ini semua karena perilaku kita, manusia."
"Bukankah ini bagian dari kewajaran kehidupan, Rita?"
"Ya, ya... ada siang, ada malam, ada kebaikan ada pula kejahatan."
"Bahkan ketika dunia baru dihuni oleh empat manusia keturunan Adam dan Hawa, kejahatan sudah menyertainya. Sehingga seorang putera Adam harus membunuh putera Adam lainnya."
"Penyebabnya cuma satu, nafsu! Ya nafsu angkara murka yang ingin menguasai semesta dan seisinya secara berlebihan."
"Sudah punya satu rumah, kepingin punya dua."
"Ya, atas nama kemulyaan hidup, manusia Jakarta menanami kawasan puncak dengan rumah-rumah mewah yang menyebabkan hujan turun tak bisa terserap lagi oleh akar pohonan. Hujan meluncur terus tanpa kendali yang menyebabkan warga Jakarta dan sekitarnya terendam oleh banjir."
"Demi kemewahan hidup, 13 juta kendaraan bermotor menguasai jalanan Kota Jakarta yang menyebabkan kita terimpit oleh kemacetan."

Mendengar keluh-kesah Rita, Juha langsung teringat pada cerita kawan sekantornya yang bernama Hendro yang juga merasai hal yang sama dengan Rita. Hendro mengaku panik sepulangnya dari jalan-jalan ke Tangkuban Perahu.

Ketika berjalan-jalan di Tangkuban Perahu pekan lalu, Hendro menemukan situasi yang sangat berbeda dengan saat ia berkunjung sekira lima belas tahun lalu.

Dulu, kata Hendro, saban masuk ke wilayah itu, ia melewati bukit pinus yang ijo royo-royo. Tapi kini, kata Hendro, semuanya sudah berubah. Di depan mata Hendro, adalah hamparan tanaman kol yang ditanam di atas tanah ratusan hektar tempat dulu hutan pinus menjadi pelindung sekaligus penyegar kawasan itu.

Hendro langsung tahu, ini tentu bukan perbuatan para penduduk setempat yang mampu menyulap tanah ratusan hektar tanaman pinus menjadi ladang kol dalam tempo singkat. Hendro juga tahu, ini tentu perbuatan warga kota yang memiliki modal miliaran rupiah.

Ketika Hendro berjalan ke arah Lembang, ia bertemu dengan penjaja makanan yang bercerita banyak perihal situasi di wilayah itu. Dari penjaja makanan itulah, perkiraan Hendro terbukti. Bahwa ladang itu memang milik orang kota berduit.

Kata si penjaja makanan, bulan Februari lalu wilayah itu kebanjiran. Ini katanya, baru terjadi sepanjang hidupnya. Alhasil, rumahnya dan 25 rumah lainnya diterjang banjir.

Penjaja makanan itu bilang, pemilik ladang kol hanya menyantuni 1 juta rupiah per keluarga. "Satu juta perak, ah...sebuah harga yang sungguh tidak layak untuk penyebab terjadinya perubahan kehidupan menuju kehancuran," ucap Hendro turut kecewa.

Kekhawatiran Rita dan juga Hendro, barangkali berlebihan. Sebab, tidakkah umat manusia selalu mempunyai jurus untuk menjawab tiap persoalan yang menelikungnya.

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Video Pilihan Video Lainnya >

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com