Mengutip penuturan secara turun temurun, sejumlah tetua mengisahkan, Noemuti Kote sebelum dikuasai Portugis adalah pusat Kerajaan Noemuti. Rumah rajanya dikelilingi sejumlah ume leu, yang berarti rumah pemali atau rumah angker, sekaligus rumah induk sukunya. Berbagai benda pusaka yang disakralkan, termasuk perlengkapan perang, tersimpan di ume leu.
Setelah dikuasai Portugis yang datang bersama misionaris Katolik sekitar abad ke-16, ume leu berganti nama menjadi ume mnasi, yang berarti rumah tua atau rumah induk sekaligus tempat berdoa. Perannya juga berubah menjadi tempat menyimpan seperangkat patung sakral Katolik bawaan Portugis atau tidak lagi menjadi tempat menyimpan benda-benda pusaka peninggalan leluhur.
Terkait hal itu, Andreas Sa’u berpendapat, pergantian nama dan perubahan peran rumah induk suku yang diikuti ritus kure sama sekali tidak bermaksud melenyapkan adat dan tradisi tua sebelumnya. Perubahan hanya sebatas memberi fungsi dan makna baru menjadikan rumah induk mereka sekaligus sebagai tempat beribadah secara Katolik. Perubahan itu berjalan tanpa halangan berarti karena disetujui para tetua leluhur suku yang telah dibaptis menjadi pemeluk Katolik.
Dalam perjalanannya, tradisi ritus kure, yang sepenuhnya oleh awam Katolik, justru menjadi penyelamat iman umat meski mereka pada suatu masa tanpa kehadiran pastor selama kurang lebih 200 tahun.