Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kesenian Ludruk di Bumi Majapahit Nyaris Hilang

Kompas.com - 18/03/2013, 23:38 WIB

Cak Durasim
Meskipun tak sebanyak dulu, agaknya masih ada beberapa orang di Mojokerto yang bertahan melestarikan ludruk sebagai salah satu identitas kesenian Jawa Timur.

Rasa cinta dan bangga membuat para pelaku seni ludruk ini memilih untuk tetap setia menjalani profesinya.

"Sedih rasanya melihat tak ada generasi muda yang tertarik untuk meneruskan perjuangan kami dalam mempertahankan ludruk di Mojokerto dan saya yakin para seniman ludruk di kota lain pun merasakan hal yang sama," ujar seniman ludruk dari Bancang, Mojokerto, Ibnu Sulkan.

Hal senada juga diungkapkan oleh seniman ludruk lainnya, Isbandi Wibowo. Baginya sangat sulit menumbuhkan minat generasi muda untuk melestarikan kesenian ini, karena perkembangan budaya telah menggeser selera masyarakat dari budaya tradisional ke budaya modern yang didukung dengan segala kemudahan iptek.

"Awalnya, ludruk berasal dari kesenian lerok di Jombang yaitu ’tandak lanang macak wedok lerak-lerok’ yang artinya penari laki-laki berdandan menor mirip perempuan. Lerok dibawakan oleh para pengamen yang berkeliling desa," kupas Cak Bowo.

Sekitar tahun 1920, nama lerok diganti menjadi besutan, berasal dari kata "besut" yang dalam Bahasa Jawa berarti "bebet sing duwe maksud" atau pakaian yang memiliki arti. Besutan merupakan lawak mini yang terdiri dari 3-4 orang.

Para pelaku seni besutan memakai baju merah dengan selendang putih yang dililitkan di bagian perut atau topi beludru merah dengan kemben putih sebagai simbol munculnya bendera merah putih. Hal ini dilakukan karena tidak berani terang-terangan melawan Belanda.

Pada masa penjajahan Jepang, seorang seniman asli Surabaya, Cak Durasim, memperkenalkan lawak yang mirip dengan besutan ke Surabaya, tepatnya di daerah Genteng Kali. Kesenian itu disebut dengan nama ludruk.

Cak Durasim terkenal dengan "parikan" atau pantunnya yang berani, yaitu "bekupon omahe doro, melok Nippon tambah sengsoro" yang berarti Bekupon adalah rumah burung dara, bangsaku ikut (dijajah) Jepang semakin sengsara.

Pantun inilah yang kemudian dilaporkan oleh seorang penduduk pribumi yang menjadi mata-mata Jepang, sehingga Cak Durasim ditangkap dan dipenjara oleh Jepang di Genteng Kali hingga menemui ajalnya.

Filosofi Kehidupan
Sepeninggal Cak Durasim, generasi penerus ludruk terus bermunculan, bukan hanya di Surabaya tetapi juga di Jombang dan salah satu yang terkenal adalah ludruk Baru Budi Jombang. Ketika itu ludruk menjadi pelipur lara bagi penduduk pribumi yang sedang dijajah.

Pada tahun 1965, terjadi pergolakan partai-partai di Indonesia yang disebut dengan Gestapu. Hal ini menyebabkan ludruk kalang kabut dan banyak yang tidak bisa bertahan karena kondisi ekonomi negara yang tidak stabil.

Namun ada juga beberapa kelompok ludruk yang bernaung di bawah bendera partai, salah satunya Baru Budi yang kemudian berganti nama menjadi Marhen Muda, lalu berganti nama lagi menjadi Nusantara karena ada larangan memakai nama partai.

Awal tahun 1970, Cak Bowo memunculkan nama ludruk Baru Budi di Surabaya dan menjadi satu-satunya kelompok ludruk yang bergerak di industri periklanan.

Kala itu, Baru Budi menangani acara panggung dan produksi kaset-kaset lawak mini untuk radio dan kaset untuk iklan, terutama jamu dan obat.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com