Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menghidupkan Homo Erectus di Museum Sangiran

Kompas.com - 05/11/2012, 23:21 WIB

Oleh M. Hari Atmoko

Tembang Jawa langgam dandanggula dilantunkan sekelompok seni musik tradisional "Pitutur" dari sekitar Candi Borobudur, mengiring prosesi ritual di tempat persemadian pemahat batu Muntilan, Raden Tumenggung Khamid Djajaprana (73).

"’Angedahken mring dosa-dosa sayekti. Wong kang ceget ibu watekira. Adoh marang bilahine. Mangkono tiyangipun. Wong kang amrih harganing diri. Ati pangolahira. Batin ugeri ing lahir sartaning badra. Iku aran kelakuan ingkang becik. Merganing miring utama’," begitu syair tembang itu dilantungkan Dirman, anggota grup musik tradisional "Sabda Jati" Dusun Gleyoran, Desa Sambeng, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.

Kira-kira, tembang itu bertutur tentang pentingnya manusia selalu mencari jalan keutamaan dalam kehidupannya.

Tabuhan alat musik seperti terbang, jedor, dan kendang mengiring lantunan tembang-tembang berikutnya oleh para anggota lainnya yang dipandu oleh dua orang, Suyoto dan Pandul, dengan masing-masing memegang Al Quran.

Suasana terkesan merasuk takzim. Djajaprana didampingi seorang kakaknya yang juga pemahat batu, Kasrin Hendroprayono (74) dan seniman Padepokan Gunung Tidar yang juga penyair Kota Magelang Es Wibowo, duduk bersila di satu ruang tertinggi serta paling ujung, untuk tempat semadi. Mereka masing-masing mengenakan tutup kepala iket dan belangkon.

Di depan mereka telah diletakkan di altar batu, berupa sesaji seperti tumpeng dengan urap dan telur di atas tampah, jenang merah dan putih di atas piring, lilin di atas cobek kecil, dua tempayan berisi air kembang mawar merah dan putih, tiga buah degan, ingkung di atas piring porselin, dan berbagai buah-buahan, serta palawija.

Selain itu, taburan bunga mawar di atas kain warna biru dan hitam membentang di tangga menuju tempat semadi tersebut, serta beberapa instalasi janur kuning diletakkan di beberapa tempat, turut mendukung tercipta suasana takzim rumah tinggal cukup besar dengan berdinding tebal milik Djajaprana.

Djajaprana adalah anak terakhir di antara enam bersaudara, keturunan seorang pemahat batu yang turut bekerja saat restorasi pertama Candi Borobudur dipimpin Theodor van Erp (1907-1911), Salim Djajapawira. Salim yang beristri Nasimah itu meninggal dunia pada 1979 dalam usia 93 tahun, sedangkan Nasimah meninggal pada 1990 dalam usia 85 tahun.

Puluhan orang menjalani prosesi itu sebagai rangkaian "Ritual Memetri Selo Redi Merapi", tanda telah selesai pembuatan patung raksasa homo erectus oleh 10 pemahat batu Sanggar Seni Pahat "Sanjaya" di Dusun Prumpung Sidoarjo, Desa Taman Agung, Kecamatan Muntilan pimpinan Djajaprana. Rangkaian prosesi itu digarap oleh komunitas Warung Info Jagad Cleguk (WIJC) Borobudur pimpinan Sucoro.

Mereka kemudian berjalan kaki sejauh sekitar 100 meter menuju bengkel kerja para pemahat tersebut di tepi Jalan Raya Magelang-Yogyakarta, tak jauh dari Jembatan Prumpung.

Jembatan itu melintang di atas alur Sungai Pabelan. Aliran air kali tersebut berhulu di pertemuan muara dua sungai yakni Tringsing dan Apu, sedangkan dua sungai itu berhulu di Gunung Merapi.

Patung homo erectus (manusia berdiri tegak) setinggi 3,40 meter tampak gagah dan kukuh di halaman depan satu bagian sanggar kerja para pemahat pimpinan Djajaprana.

Kepala Balai Konservasi Borobudur Marsis Sutopo juga tampak hadir pada kesempatan itu mewakili Kepala Balai Penelitian Situs Manusia Purba Sangiran Harry Widianto.

Rencananya, pada pertengahan November 2012, patung homo erectus itu  diusung dari tepi Kali Pabelan tersebut menuju Museum Manusia Purba Sangiran, kaki Gunung Lawu, Kecamatan Kalijambe, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah. Museum di kawasan situs warisan dunia itu di bawah pengelolaan Balai Penelitian Situs Manusia Purba Sangiran.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com